Sunday, April 29, 2007

Operasi Keamanan

Operasi Pemulihan Keamanan di Poso
dan Kekerasan yang Terpelihara


Sejarah operasi pemulihan keamanan di Poso memang umurnya hampir sama panjang dengan konflik Poso. Mulanya pada konflik Poso pertama, Desember 1998, pendekatan sosiokultural masih dipakai untuk meredam konflik. Nyatanya konflik tetap pecah, bahkan lebih luas dan ganas.

Pada konflik kedua April hingga Juni 2000, Polda Sulteng mulai menggelar operasi keamanan. Namanya Operasi Sadar Maleo. Operasi digelar hingga lima tahap ini efektif dimulai 1 Juli 2000. Ada 14 Satuan Setingkat Kompi (SSK) aparat TNI dan Polri diterjunkan untuk mengamankan Poso. Sebagian personil adalah bantuan dari Polda Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Kodam VII Wirabuana.

Sementara itu dalam waktu bersamaan, Kodam VII Wirabuana, komando daerah militer yang membawahi Komando Resort Militer se-Sulawesi itu, juga menggelar Operasi Cinta Damai. Tapi tetap saja kendali operasi berada di tangan Polri. Meski sempat menekan letupan pertikaian, hingga berakhirnya operasi tersebut pada Senin (10/12/2001), hasil yang dicapai belum optimal. Perkelahian bersenjata, penghadangan bus penumpang umum, penjarahan, pembantaian, dan pembakaran-pembakaran rumah penduduk masih saja terjadi. Korban jiwa pun kian bertambah.

Saat Poso belum aman juga, pasukan keamanan ditingkatkan menjadi 23 SSK. Masih terdiri dari aparat TNI dan Polri. Apakah Poso pulih? Ternyata belum juga, hingga Desember 2001 serangkaian penyerangan-penyerangan, pembakaran rumah-rumah warga, penculikan dan pembunuhah-pembunuhan masih saja terjadi.

Sampai kemudian Selasa (4/12/2001) dalam Rapat Koordinasi Poltik dan Keamanan (Rakor Polkam) di Jakarta, Presiden Megawati Soekarno Putri menyetujui pelaksanaan Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu di Poso. Oleh Polda Sulteng, operasi itu diberi sandi Operasi Sintuvu Maroso. Lalu Rabu (5/12/2001) sejumlah menteri ditugaskan Presiden Megawati untuk meninjau langsung Poso. Operasi pemulihan keamanan itu mulai digelar Senin (10/12/2001). Opslihkam Sintuwu Maroso sedikitnya membawa dampak positif. Keamanan berangsur kondusif. Tak ada lagi serangan sporadis.

Senin, 17 Juni 2002, setelah dilakukan monitoring, analisa dan evaluasi (monev), diputuskan Opslihkam Sintuwu Maroso tetap dilanjutkan selama tiga bulan dengan operasi kemandirian wilayah, mulai 1 Juli hingga 30 September 2002. Tapi kali ini operasi bersandi Sintuwu Maroso-1. Semua penanggungjawab keamanan daerah ini serta penguasa sipil bersepakat dengan itu. Sesuai Deklarasi Malino yang ditandatangani pada Desember 2001, pemulihan keamanan dengan operasi terpusat tersebut semestinya berakhir 30 Juni 2002.

Disebutkan, salah satu pertimbangan untuk menentukan pilihan melakukan operasi mandiri kewilayahan tersebut adalah mulai kondusifnya kondisi keamanan di Kabupaten Poso. Meski demikian, untuk mengatasi kemungkinan perubahan mendadak akibat kesenjangan operasi keamanan, Polda Sulteng merasa perlu mengantisipasinya dengan merancang kelanjutan pemulihan keamanan.

Rupanya, kasus ledakan black-powder low explosive di atas bus Antariksa jurusan Palu-Tentena pada 5 Juni yang mengakibatkan lima penumpang tewas dan 15 lainnya luka-luka jadi pertimbangan polisi. Begitu pula, kasus penyerangan di wilayah Kayamanya pada 9 Juni 2002 yang menewaskan seorang warga.

Dalam Opslihkam Sintuwu Maroso-1 ini sasaran yang dikedepankan adalah tindakan preventif-persuasif dengan didukung kemampuan represif jika dibutuhkan. Perbedaannya, jika Operasi Sintuwu Maroso merupakan operasi terpusat dan terpadu, Operasi Sintuwu Maroso-1 tersebut dilakukan di bawah koordinasi daerah.

Dalam rancangan struktur operasi ini, Kepala Polda Sulteng bertindak selaku Kepala Operasi Daerah (Kaopsda) dengan Komandan Korem 132/ Tadulako sebagai wakilnya. Hierarki di bawahnya, Kepala Polres Poso bertindak sebagai Kepala Satuan Tugas Resort (Satgasres) dengan Komandan Kodim Poso sebagai wakil. Sebagai pasukan cadangan, Satuan Tugas Daerah (Satgasda) akan dikoordinasikan oleh Kepala Direktorat Sabhara dibantu Kepala Direktorat Reserse Polda Sulteng. Jika dalam Operasi Sintuwu Maroso menyertakan sekitar 3.000 pasukan, operasi mandiri kewilayahan ini melibatkan sekitar 2.000 pasukan dari unsur Polri dan TNI dari Batalyon 711 Palu.

Penempatan pasukan dalam operasi Sintuwu Maroso I ini lebih aktif dan dinamis. Pasukan tidak bersifat stationer di masing-masing pos penjagaan. Tercatat tidak kurang terdapat 46 pos penjagaan dalam wilayah kerja empat sektor di wilayah Poso dan sekitarnya.

Masalahnya, beberapa kasus kekerasan dengan pola yang lebih tertutup seperti penembakan misterius dan pemboman tetap terjadi sepanjang tahun 2002. keberadaan Brimob mulai dipertanyakan masyarakat: Untuk memulihkan keamanan atau melanggengkan konflik? Apalagi menurut A. Firdaus Tato, Ketua Komisi A DPRD Poso, telah Rp 6,7 miliar anggaran APBD Poso telah dihabiskan untuk pemulihan keamanan.

Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 20 Juli 2005 kembali menyetujui perpanjangan Operasi Sintuwu Moroso untuk ketujuh kalinya di Poso. Operasi dengan mandat pemulihan keamanan dan ketertiban berlanjut setelah sebelumnya operasi dengan sandi yang sama berakhir pada 12 Juli 2005. Alasannya, sama dengan perpanjangan operasi sebelumnya, yakni faktor ancaman keamanan yang belum pulih menjadi alasan utama.

Sejumlah organisasi non pemerintah yang concern pada advokasi konflik di Poso mengecam sikap pemerintah yang menyetujui usulan itu, pasalnya perpanjangan tersebut tanpa diikuti dengan evaluasi menyeluruh atas operasi sebelumnya. Aparat penegak hukum juga dinilai gagal membangun kepercayaan dari dua komunitas masyarakat di Poso dalam hal penegakan hukum. Pada 2002 - Juni 2005, dari 166 kasus kriminal di kabupaten Poso, termasuk yang berkaitan dengan kerusuhan, hanya 9 kasus yang ditingkatkan proses hukumnya ke kejaksaan dan pengadilan. Dari sisi keamanan terlihat bahwa sepanjang tahun itu terjadi berbagai kasus kekerasan, diantaranya 36 kasus penembakan misterius dan 32 kasus pengeboman. Sementara, akibat tindak kekerasan berupa penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya yang tidak manusiawi sepanjang 2002-2005, tercatat 79 orang menjadi korban hingga meninggal dunia dan 207 orang luka-luka[1].

Kritik terhadap kebijakan perpanjangan operasi itu juga karena beberapa kasus justru aparat TNI/Polri menjadi pelaku kekerasan berupa pemukulan, penembakan, pencurian/penjarahan dan kasus kekerasan terhadap perempuan, penangkapan sewenang-wenang disertai penyiksaan dan stigmatisasi terorisme kepada warga.

Pola Operasi yang dilakukan adalah dengan membuat pos-pos aparat Kepolisian atau TNI di sepanjang Trans Sulawesi, di sepanjang pintu masuk desa-desa di Poso dan ditengah-tengah desa. Daerah Penyebaran Pos keamanan di Poso pada tahun 2005; di Kecamatan Poso Pesisir Utara, pos keamanan disebar di 6 desa/kelurahan dengan jumlah 55 personil. Di Kecamatan Poso Pesisir, pos keamanan disebar di 10 desa/kelurahan dengan jumlah masing-masing personil rata-rata 124 personil, di Kecamatan Poso Pesisir Selatan, pos keamanan disebar di 8 desa/kelurahan dengan jumlah 88 personil. Di Kecamatan Poso Kota, pos keamanan disebar di 12 desa/kelurahan dengan jumlah 1655 personil. Di Kecamatan Lage, pos keamanan disebar di 11 desa/kelurahan dengan jumlah 54 personil. Di Kecamatan Pamona Selatan, pos keamanan disebar di 2 desa/kelurahan dengan jumlah 306 personil. Di Kecamatan Pamona Timur, pos keamanan disebar di 2 desa/kelurahan dengan jumlah 18 personil. Di Kecamatan Pamona Utara, pos keamanan disebar di 3 desa/kelurahan dengan jumlah 2 personil. Total jumlah keseluruhan pada tahun 2005 yang bisa terdata 2302 personil TNI/Polri di 8 kecamatan di Kabupaten Poso.

Selain itu pemerintah telah berkali-kali melakukan operasi Intelijen di Poso. Paska Deklarasi Malino 2001, paska penyerangan desa Beteleme dan beberapa desa lainnya, pada Oktober 2003, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan segera menggelar Operasi Intelijen. Demikian pula paska peledakan BOM tentena, juga dinyatakan kembali dilakukan operasi Intelijen. Terakhir operasi Intelijen digelar lagi melalui Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 2005 tentang Langkah-Langkah Komprehensif Penanganan Masalah Poso, yang menekankan upaya pengungkapan dan perusakan jaringan pelaku teror termasuk pelaku kerusuhan[2].

Pada bagian lainnya INPRES Nomor 14 tahun 2005 tentang Langkah-Langkah Komprehensif Penanganan Masalah Poso bisa dilihat tingkat keseriusan Pemerintah merespon kekerasan yang terus terjadi di Poso. Inpres ini memberikan instruksi bukan hanya kepada BIN sebagaimana dinyatakan diatas, akan tetapi juga terhadap 11 unit pemerintah setingkat Menteri lainnya; Panglima TNI, Kapolri, dan menteri-menteri lainnya. Juga, terhadap Gubernur dalam INPRES ini diminta untuk menindak aparaturnya yang diduga melakukan penyelewengan dan dukungan atas pembiayaan operasi penanganan kekerasan di Poso lewat APBD.

Paska pemboman pasar Tentena 2005, kalangan masyarakat sipil Poso, terutama tokoh dari agama Islam, Adnan Arsal dan tokoh kalangan Kristen, Pendeta Damanik, mengusulkan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk konflik Poso. Keduanya sepakat membongkar kekerasan demi kekerasan yang terjadi di Konflik Poso sejak 1998. Usulan ini bergulir sampai ke masyarakat. Bahkan usulan tersebut juga meminta TGPF yang dibentuk untuk mengevaluasi kinerja aparat pemerintah dan keamanan dalam kerja pengamanan dan perbaikan kondisi Poso. Sayangnya, hal ini tidak pernah direspon oleh pemerintah.

Paska pembunuhan (mutilasi) terhadap 3 siswi di Poso Kota pada 29 Oktober 2005, Aparat Keamanan, Polri, memperkuat kapasitas kerjanya dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas). Satgas ini dipimpin oleh Seorang perwira dari Mabes Polri. Dalam kurun dua minggu, setelah terjadi pemboman pasar daging di Maesa Kota Palu pada 31 Desember 2005, kembali dibentuk Satuan Operasi baru, tanpa membubarkan operasi-operasi lainnya yang sudah ada. Satuan tugas itu adalah KOOPSKAM (Komando Operasi Pemulihan Situasi Keamanan) yang dipimpin oleh Irjen Polisi Paulus Purwoko, Kadiv Humas Polri saat itu.

Namun sayang, operasi keamanan yang telah melibatkan hampir empat ribu personil Polri dan TNI ditengah-tengah masyarakat masih saja gagal memberikan jaminan keamanan. Padahal, jumlah dana keamanan Poso yang mencapai milyaran rupiah tersebut belum termasuk dengan pungutan-pungutan liar[3], bisnis kayu hitam[4], yang dilakukan oleh anggota-anggota Polri dan TNI dilevel lapangan, secara terbuka. Bahkan terkadang menjadi masalah bagi masyarakat.

Menjelang berakhirnya masa kerja Koopskam dan Satgas Poso,Juli 2006, Pemerintah kembali menyetujui perpanjangan operasi keamanan di Poso yang telah berlangsung tujuh kali perpanjangannya. Operasi Situsu Maroso kemudian tutup buku, namun kelanjutan operasi itu hanya berganti sandi menjadi ”Lanto Dago”, diambil dari bahasa lokal Poso (bere’e) yang bermakna ”bersama akan baik”.

Seperti operasi lainnya yang telah digelar di Poso, Operasi Lanto Dago juga tidak menjawab tuntutan masyarakat Poso untuk mendapatkan rasa aman, seperti situasi sebelum konflik terjadi, yakni masa damai tanpa perang dan teror. Saat operasi ini digelar, penambahan pasukan perbantuan (Bawah Kendali Operasi) terus dilakukan seiring meningkatnya angka kekerasan di Poso dan Palu. Pola penanganan seperti ini sepertinya menjadi kebijakan konservatif dari pemerintah dalam mengatasi teror dan tindak kekerasan yang terjadi di Poso dan Palu.

Bentuk respon pemerintah lainnya dibidang keamanan adalah dengan meningkatkan status Polres Poso menjadi Polres Khusus. Poso tidak ubahnya menjadi wilayah eksprimen dalam penerapan kebijakan baru pemerintah. Status Polres Khusus di Poso membuat kekuatan personil aparat organik dan dukungan peralatan yang lebih canggih dibanding Polres lainnya yang ada di Indonesia. Polres Khusus Poso ditargetkan memiliki kekuatan personil organik minimal 2000 orang dengan dukungan peralatan yang lebih canggih.

Dinilai berlebihan dalam pengelolaan manajemen keamanan di Poso, pemerintah kemudian mempromosikan program Polisi Masyarakat (police community) dalam agenda Polres Khusus. Polisi Polres Poso kemudian disebar ke desa-desa dengan kekuatan lima sampai delapan personil. Dalam keberlanjutannya, program Polisi Masyarakat ini pun terancam gagal. Dibeberapa wilayah di Poso seperti di Kecamatan Lage, Poso Kota, Tentena Pamona Utara justru ditolak masyarakat, setiap munculnya insiden baru di Poso, Personil Polmas dan pos-posnya menjadi sasaran kekecewaan masyarakat.



[1] Siaran Pers Bersama, KontraS, PBHI, LPSHAM Sulteng “Sesat piker Perpanjangan Operasi Sintuwu Maroso”, 21 Juli 2005

[2] Haris Azhar dan Syamsul Alam Agus, Poso: Wilayah yang Dikonflikan (Jakarta/Palu, 2005)

[3] Pungutan-pungutan liar tersebut biasa dilakukan oleh setiap pos pengamanan disepanjang Trans Sulawesi. Pungutan-pungutan tersebut biasa dikenakan terhadap truk dan bis umum.

[4] Sulawesi Tengah terkenal dengan kualitas Kayu Hitam yang sangat bagus dan bernilai. Kayu hitam merupakan komoditas yang sangat dilindungi (tidak mudah membawa keluar hasil-hasil tangan keluar dari Poso). Hanya anggota-anggota Kepolisian dan TNI yang berani membawa keluar ukiran/pajangan yang terbuat dari Kayu Hitam.