Monday, April 30, 2007

Buruk Rupa Penegakan Hukum di Poso


Cerita Buruk tentang Profesionalisme Polisi

Ketegangan melingkupi sebuah ruangan di Markas Polres Poso, suatu siang, saat perang tengah berkecamuk di kawasan Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota, Poso, Sulawesi Tengah, Senin 22 Januari 2007 silam.

Seorang pria berkumis, berjalan bolak-balik gelisah di markas yang terletak di Jalan Pulau Sumatera. Pria itu mengenakan seragam polisi. Di pundaknya bertengger sebuah bintang. Ia Badrodin Haiti. Jenderal bintang satu yang menjadi pemimpin nomor satu polisi di Sulawesi Tengah. Poso adalah satu wilayah kekuasaannya.

Jenderal Badrodin terus gelisah...

“Rud, bagaimana ini, sudah delapan korban tewas, tapi tak satupun DPO?” tanya Badrodin kepada seorang tinggi besar dengan seragam polisi dan rompi pelindung peluru yang membungkus badannya.

“Tenang Jenderal, saya akan menyelesaikannya!” jawab pria yang dipanggil Rud tadi.

Pria tinggi besar itu adalah Rudy Sufahryadi, juga akrab disapa Rudi Gajah. Ia polisi dengan melati dua di pundaknya, ia Ajun Komisaris Besar Polisi. Ia adalah orang nomor satu di Polres Poso dalam dua tahun terakhir. Ia punya keahlian antiterorisme. Maklumlah, hampir sebagian besar karir polisinya ia habiskan di brigade mobil, satuan elit di kepolisian RI. Terakhir, sebelum jadi Kapolres Poso, ia menjabat Wakil Kepala Satuan Gegana Mabes Polri. Tak lama berselang, setelah memberi keyakinan komandannya, Rudy terlihat di medan tempur. Dalam hitungan menit kemudian, jatuh korban dari pihak sipil bersenjata yang melawan polisi dalam operasi penangkapan DPO itu.

Warga yang tewas itu bersenjata. Ia DPO polisi. Rudy senang, Badrodin pun menarik nafas lega. Sebuah episode tegang ditutup senyum.

Dan, cerita tadi, cuma sebuah episode kecil dari cerita panjang tentang pertempuran sengit antara satuan elit polisi dengan puluhan sipil bersenjata, gabungan para DPO dan warga pendukungnya.

Namun, meski kecil, cerita tadi menyiratkan sebuah pesan bahwa ada yang keliru, ada yang tak tepat dari tindakan polisi dalam pertempuran berdurasi delapan jam itu. Dalam bahasa lain, kekeliruan itu, atau ketidaktepatan itu bernama pelanggaran hak asasi manusia. Sesuatu yang selalu dibantah sejumlah polisi.

Tapi, meski malu-malu, Badrodin pun mengakuinya. Tengok saja pernyataannya di Palu. “Kalaupun ada hanya pelanggaran HAM biasa. Itu pun harus dibuktikan dengan penyelidikan terlebih dahulu,” kata dia, Jumat 9 Maret 2007. Badrodin pun menantang Komnas HAM melakukan penyelidikan untuk membuktikan ada-tidaknya pelanggaran HAM yang dilakukan anggotanya di lapangan.

“Kami juga tidak membenarkan adanya pelanggaran HAM. Kalau memang ada anggota melanggar dan bisa dibuktikan, akan ditindak. Pokoknya masyarakat maupun anggota polisi yang melanggar akan ditindak,” katanya menegaskan.

Anggota Komnas HAM, Zumrotin K. Susilo, juga mengatakan tidak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus penyergapan yang dilakukan polisi di Tanah Runtuh Poso pada akhir Nopember 2006, maupun dalam operasi bersenjata pada 11 dan 22 Januari 2007.

Menurut Zumrotin, yang dikategorikan pelanggaran HAM berat jika dilakukan secara sistimatis dan meluas. “Jadi yang ada pelanggaran HAM biasa, dan rincian pelanggaran akan disampaikan secara tertulis kepada Kapolda Sulteng. Tapi, secara lisan hal juga sudah dilaporkan kepada Kapolri,” katanya.

Pelanggaran HAM yang ditemukan di antaranya, oknum anggota polisi melarang petugas medis mengevakuasi korban, kasus salah tangkap dan penyiksaan.

Kisah salah tangkap dan penyiksaan (baca: Bernafas di Ujung Laras) memang menjadi sisi buruk dari “success story” polisi menangkap DPO kasus kekerasan di Poso dan Palu. Namun, polisi selalu punya alasan. Kalaupun mengakui itu terjadi, mereka minta dibuktikan dulu.

Padahal, polisi sudah sering salah tangkap terhadap orang yang diduga melakukan kejahatan. Keinginan keluarga korban menuntut ganti rugi dari polisi terhalang penjelasan KUHAP.

Profesionalisme memang selalu jadi gunjingan. Beberapa kali terungkap polisi salah menangkap orang. Yang ditangkap justeru bukan orang yang diduga melakukan kejahatan. Celakanya, korban salah tangkap sering menjadi sasaran kekerasan, bahkan mungkin menyebabkan kematian.

Nasib nahas itu dialami Yusuf dan Apriyanto, dua korban tewas dalam perang 22 Januari 2007. Keduanya menjadi korban kekerasan polisi ketika mencari puluhan orang yang diduga dalang kerusuhan Poso. Ketika keluarga korban hendak meminta ganti rugi kepada polisi, ternyata terganjal oleh aturan KUHAP.

Pertanyaannya sampai kapan hal ini terjadi? Akankah negeri ini terus-menerus membiarkan polisi berbuat salah atas nama hukum? Hingga akhir Maret ini, belum satu pun kasus pelanggaran HAM oleh polisi tanggal 22 Januari lalu yang diadili. Padahal, Jendral Badrodin telah mengakuinya, meski malu-malu. ***

Laporan ini dibuat atas kerjasama AJI Kota Palu dan Yayasan TIFA, Februari – Maret 2007