Monday, April 30, 2007

Kisah Korban

Semilir Luka Warga Tanah Runtuh


Kepedihan menggantung diatas langit kemanusian Poso. Bentrokan berdarah kelompok warga sipil bersenjata Poso dengan aparat kepolisian berujung luka yang luar biasa bagi warga sipil. Bukan hanya tekanan ketakutan akut yang ada, tetapi juga kerusakan material. Puluhan rumah berikut peralatannya menjadi rusak. Pemerintah masih sebatas janji dalam perbaikan rumah warga.

Aprianto (20) sudah tertidur tenang diharibaan-Nya. Disebuah pemakaman yang sunyi dan terpencil dalam kota Poso. Pria, yang masih membujang ini menemui ajal saat ia melintas di zona bentrokan kelompok sipil bersenjata Poso dengan aparat kepolisian pada prahara berdarah 22 Januari 2007 silam.

Orang tua Aprianto, Yasin - kini hanya bisa terkulai merangkai kenangan manis anaknya. Terbayang dalam ingatan, pada suatu silam Aprianto ingin menjadi polisi. “Dia memang bercita-cita jadi polisi, tapi nasibnya tragis, mati ditangan polisi” Kata Yasin dengan wajah sendu.

Kematian Aprianto bersama 13 warga Poso, meretas jauh sampai pada tingkat kerusakan material. Rumah beserta perabotnya menjadi luluh lantak akibat terjangan peluru dan tangan-tangan kukuh aparat keamanan. Rumah, yang biasanya berfungsi sebagai tempat istirahat, tempat memulai dan mengakhiri pekerjaan, saat itu menjadi sebuah penjara ketakutan.

Lihat saja, sejumlah rumah mengalami kerusakan akibat didobrak aparat atau bahkan di tembaki aparat hanya karena rumah itu dijadikan tempat persembunyian para warga bersenjata kelompok Basri cs. Kerusakan yang dialami warga mulai dari kerusakan ringan hingga kerusakan berat. Ada rumah yang dinding dan atapnya bocor tertembus peluru hingga peralatan rumah tangga yang juga ikut terkena peluru nyasar.

Sebut saja Halijah (33). Ibu rumah tangga yang tinggal di kompleks kantor PDAM Gebangrejo ini mengalami kerugian materil yang tidak sedikit akibat rumahnya dihujani peluru. Ibu lima orang anak ini harus merelakan kulkasnya bolong –bolong setelah sebuah timah panas melubangi dinding belakang kulkasnya. Kini kulkas tersebut menjadi barang rongsokan karena sudah tak berfungsi.

Bukan hanya kulkas, panci, parabola, termos air, receiver, dan dispenser miliknya, juga ikut rusak. Panci presto miliknya misalnya berlubang dan tak bisa digunakan untuk menanak nasi. Demikian dengan termos dan dispenser yang pecah. Belum lagi atap dan dinding rumahnya dijejali lobang-lobang menganga-menganga terkena tembakan.

''Semua kerugian saya ditaksir berjumlah 5 juta rupiah,'' ujar Halijah yang ditemui di rumahnya. Halijah mengaku pernah ada orang dari Polda dan Pemda Poso datang meninjau dan mendata kerusakan di rumahnya. Haijah dijanji akan diganti semua kerugian akibat bentrokan itu. Namun hingga kini tak satupun barang-barang miliknya diganti.

Memang, wilayah di sekitar rumah Halijah, menjadi tempat pertempuran sengit antara aparat dan warga bersenjata Senin tanggal 22 Januari 2007 yang lalu. Halijah menuturkan, pagi itu dia baru saja akan menidurkan anaknya Mutiara Ramadhani yang baru berusia empat bulan. Sekitar pukul 08.00 Wita, tiang listrik dibunyikan di depan kantor PDAM, beberapa meter dari rumahnya. ''Saya mengira bunyi tiang listrik itu adalah bel kantor PDAM. Nanti saya dengar suara tembakan dari arah barat, saya baru tahu kalo polisi sedang bentrok dengan anak-anak bawah (Basri cs-Red),'' tutur Halijah.

Pagi itu Halijah hanya berdua dengan anaknya yang baru berusia empat tahun. Suaminya Masran (38), sedang bekerja menjadi satpam di PT Bukaka di Desa Ratolene Poso Pesisir. Dua anaknya sedang sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di Tanah Runtuh dan seorang lagi sedang berada di rumah neneknya di Desa Tabalu.

Suara tembakan polisi yang berasal dari perbukitan di sebelah barat pintu masuk PDAM, ternyata dibalas tembakan juga oleh warga bersenjata dari arah PDAM. Itulah yang membuat Halijah panik dan langsung berlari sambil menggendong anaknya ke rumah tetangganya di sisi kiri rumahnya. Dari dalam rumah, Halijah dan sejumlah warga yang ikut berlindung di rumah itu, mendengar bunyi tembakan bersahut-sahutan. Mereka melihat senjumlah warga bersenjata berdiri bahkan ada yang berlindung di samping rumah tempat mereka berada.

''Saya sendiri liat anak-anak bawah (Basri cs-Red) tenteng-tenteng senjata dan melempar bom. Anak saya menangis terus karena kaget mendengar bunyi bom dan senjata,'' kata Halijah. Waktu azan dhuhur, kontak senjata berhenti dan Halijah melihat pria bersenjata itu meninggalkan lokasi itu dan mundur ke perbukitan. Sekitar setengah jam kemudian, wilayah itu dikuasai brimob. Sejumlah rumah digeledah termasuk rumah milik Halijah. Beberapa polisi merusak jendela kayu di rumah Halijah untuk mencari warga yang terlibat bentrokan. Karena tidak menemukan orang yang dicari, polisi itu lalu mundur dan mengosongkan daerah itu.

Halijah sendiri baru berani masuk ke rumahnya setelah seorang tetangganya memintanya untuk menutup warung jualannya. Saat itu dia hanya melihat beberapa dinding dan atap rumahnya bocor. Setelah itu dia meninggalkan rumahnya menuju ke barak penampungan warga 20 meter dari rumahnya. ''Ssaya pulang dari barak baru saya lihat ternyata banyak barang-barang saya yang rusak. Saya liat satu-satu, kulkas, panci, termos, dispenser, receiver dan parabola, bocor terkena tembakan,'' keluh Halijah.

Dia hanya berharap pihak berwenang segera mengganti kerusakan barangetelah -barangnya karena semua barang itu diperoleh dengan susah payah. Dia mengaku untuk bisa mendapatkan kulkas ia harus menabung sekitar satu tahun.

Halijah sendiri berprofesi sebagai ibu rumah tangga dengan membuka warung dan suaminya seorang satpam. Dia dan suaminya harus membiayai lima anaknya, masing-masing Irfan Bahri (12) , Vita Aulia Sari (10), Anggun Nindita Sari (6), Muhammad Afriansyah (4) dan Mutiara Ramadhani (4 bulan).

Halijah tak sendirian, rumah Turmudji (65) misalnya mengalami kerusakan yang lebih serius. Ruang tamu tidak saja berserakan pecahan kaca terburai, tetapi juga dinding-dinding bagian luar dan dalam berlobang menganga akibat terjalan peluru. Kursi sofa tidak luput dari terjangan peluru. Begitu juga pintu depan rumah menjadi tidak normal. “Pokoknya rumah saya saya seperti kapal pecah” Tegasnya.

Saat itu Tarmudji, Imam masjid di salah satu masjid di Gebang Rejo sedang berada di rumahnya. Tak dinyana rumahnya dihujani peluru. Polisi melakukan itu karena rumahnya dijadikan persembunyian para DPO kekesaran Poso saat terjadi bentrokan bersenjata tersebut.

“Saya bernasib sial karena DPO itu lari kerumah saya, kebetulan diantaranya ada keponakan saya” ujarnya.

22 Januari bagi warga Poso dikenang sebagai hari mengenaskan. Bayangan ketakutan tergerus saat mendengar rentetan senjata seakan datang setiap saat.


Laporan ini dibuat atas kerjasama AJI Kota Palu dan Yayasan TIFA, Februari – Maret 2007