Semilir Luka Warga Tanah Runtuh
Kepedihan menggantung diatas langit kemanusian Poso. Bentrokan berdarah kelompok warga sipil bersenjata Poso dengan aparat kepolisian berujung luka yang luar biasa bagi warga sipil. Bukan hanya tekanan ketakutan akut yang ada, tetapi juga kerusakan material. Puluhan rumah berikut peralatannya menjadi rusak. Pemerintah masih sebatas janji dalam perbaikan rumah warga.
Aprianto (20) sudah tertidur tenang diharibaan-Nya. Disebuah pemakaman yang sunyi dan terpencil dalam kota Poso. Pria, yang masih membujang ini menemui ajal saat ia melintas di zona bentrokan kelompok sipil bersenjata Poso dengan aparat kepolisian pada prahara berdarah 22 Januari 2007 silam.
Orang tua Aprianto, Yasin - kini hanya bisa terkulai merangkai kenangan manis anaknya. Terbayang dalam ingatan, pada suatu silam Aprianto ingin menjadi polisi. “Dia memang bercita-cita jadi polisi, tapi nasibnya tragis, mati ditangan polisi” Kata Yasin dengan wajah sendu.
Lihat saja, sejumlah rumah mengalami kerusakan akibat didobrak aparat atau bahkan di tembaki aparat hanya karena rumah itu dijadikan tempat persembunyian para warga bersenjata kelompok Basri cs. Kerusakan yang dialami warga mulai dari kerusakan ringan hingga kerusakan berat. Ada rumah yang dinding dan atapnya bocor tertembus peluru hingga peralatan rumah tangga yang juga ikut terkena peluru nyasar.
Sebut saja Halijah (33). Ibu rumah tangga yang tinggal di kompleks kantor PDAM Gebangrejo ini mengalami kerugian materil yang tidak sedikit akibat rumahnya dihujani peluru. Ibu lima orang anak ini harus merelakan kulkasnya bolong –bolong setelah sebuah timah panas melubangi dinding belakang kulkasnya. Kini kulkas tersebut menjadi barang rongsokan karena sudah tak berfungsi.
''Semua kerugian saya ditaksir berjumlah 5 juta rupiah,'' ujar Halijah yang ditemui di rumahnya. Halijah mengaku pernah ada orang dari Polda dan Pemda Poso datang meninjau dan mendata kerusakan di rumahnya. Haijah dijanji akan diganti semua kerugian akibat bentrokan itu. Namun hingga kini tak satupun barang-barang miliknya diganti.
Memang, wilayah di sekitar rumah Halijah, menjadi tempat pertempuran sengit antara aparat dan warga bersenjata Senin tanggal 22 Januari 2007 yang lalu. Halijah menuturkan, pagi itu dia baru saja akan menidurkan anaknya Mutiara Ramadhani yang baru berusia empat bulan. Sekitar pukul 08.00 Wita, tiang listrik dibunyikan di depan kantor PDAM, beberapa meter dari rumahnya. ''Saya mengira bunyi tiang listrik itu adalah bel kantor PDAM. Nanti saya dengar suara tembakan dari arah barat, saya baru tahu kalo polisi sedang bentrok dengan anak-anak bawah (Basri cs-Red),'' tutur Halijah.
Pagi itu Halijah hanya berdua dengan anaknya yang baru berusia empat tahun. Suaminya Masran (38), sedang bekerja menjadi satpam di PT Bukaka di Desa Ratolene Poso Pesisir. Dua anaknya sedang sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di Tanah Runtuh dan seorang lagi sedang berada di rumah neneknya di Desa Tabalu.
Suara tembakan polisi yang berasal dari perbukitan di sebelah barat pintu masuk PDAM, ternyata dibalas tembakan juga oleh warga bersenjata dari arah PDAM. Itulah yang membuat Halijah panik dan langsung berlari sambil menggendong anaknya ke rumah tetangganya di sisi kiri rumahnya. Dari dalam rumah, Halijah dan sejumlah warga yang ikut berlindung di rumah itu, mendengar bunyi tembakan bersahut-sahutan. Mereka melihat senjumlah warga bersenjata berdiri bahkan ada yang berlindung di samping rumah tempat mereka berada.
Dia hanya berharap pihak berwenang segera mengganti kerusakan barangetelah -barangnya karena semua barang itu diperoleh dengan susah payah. Dia mengaku untuk bisa mendapatkan kulkas ia harus menabung sekitar satu tahun.
Halijah sendiri berprofesi sebagai ibu rumah tangga dengan membuka warung dan suaminya seorang satpam. Dia dan suaminya harus membiayai lima anaknya, masing-masing Irfan Bahri (12) , Vita Aulia Sari (10), Anggun Nindita Sari (6), Muhammad Afriansyah (4) dan Mutiara Ramadhani (4 bulan).
Halijah tak sendirian, rumah Turmudji (65) misalnya mengalami kerusakan yang lebih serius. Ruang tamu tidak saja berserakan pecahan kaca terburai, tetapi juga dinding-dinding bagian luar dan dalam berlobang menganga akibat terjalan peluru. Kursi sofa tidak luput dari terjangan peluru. Begitu juga pintu depan rumah menjadi tidak normal. “Pokoknya rumah saya saya seperti kapal pecah” Tegasnya.
Saat itu Tarmudji, Imam masjid di salah satu masjid di Gebang Rejo sedang berada di rumahnya. Tak dinyana rumahnya dihujani peluru. Polisi melakukan itu karena rumahnya dijadikan persembunyian para DPO kekesaran Poso saat terjadi bentrokan bersenjata tersebut.
22 Januari bagi warga Poso dikenang sebagai hari mengenaskan. Bayangan ketakutan tergerus saat mendengar rentetan senjata seakan datang setiap saat.
Laporan ini dibuat atas kerjasama AJI Kota Palu dan Yayasan TIFA, Februari – Maret 2007