Monday, April 30, 2007

Teror Psikologis

Empat Jam dalam Kepanikan

Pagi di kota Poso Senin 22/1, matahari cukup bersahabat. Sinar temarannya menembus relung kehidupan warga. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya hujan selalu mengguyur dan awan menyelimuti kota yang pernah dilanda konflik bernuansa SARA beberapa tahun silam. Seakan tidak ada tanda terjadinya sebuah tragedi yang berdarah-darah di kota penghasil eboni itu.

Tak heran murid -murid Taman Kanak-kanak Tjokroaminoto, Jalan Pulau Bali, Kelurahan Gebangrejo, tetap mengikuti rutinas pagi. Bernyanyi seraya berdoa doa bersama sebelum memulai aktivitas belajar mengajar. Ini memang sudah menjadi agenda ‘wajib’ di sekolah yang memang berbasis Islam tersebut.

Namun baru saja memulai pelajaran, tiba-tiba terdengar suara rentetan tembakan. Tidak jelas darimana sumber dan arah tembakan. Seketika, suasana dalam ruang kelas menjadi kacau. Lebih seratus murid di TK tersebut jadi ketakutan dan menangis. Mereka terbirit-birit masuk bawah meja dan kursi untuk bersembunyi. Adapula yang langsung memeluk gurunya sembari menangis dan memanggil orangtuanya.

Siti Aminah, salah seorang guru TK Tjokroaminoto yang mengajar saat itu tidak bisa berbuat banyak. Bukan hanya muridnya yang ketakutan,tapi dia juga merasakan hal yang sama. Ketakutan semakin menjadi-jadi begitu melihat puluhan anggota brimob menenteng senjata laras panjang masuk ke pekarangan sekolah. Ia pun bertanya-tanya kenapa polisi itu masuk ke pekarangan sekolah kemudian menyebar dengan senjata siap tempur. Jangan-jangan sekolahnya mau dijadikan benteng pertahanan polisi. “Kalau itu terjadi maka habislah kita” ujar Aminah.

Puluhan polisi itu sempat memperingatkan guru dan muridnya agar semuanya tetap berada di dalam kelas agar tidak terkena peluru nyasar.Aminah masih kebingungan apa maksud polisi tadi. Ia sendiri belum melihat adanya musuh yang dihadapi polisi.

Selang beberapa menit saja, rentetan tembakan kembali terjadi. Dari kejauhan terdengar suara ledakan bom‘’Anak-anak semakin ketakutan. Suara apa itu bu.Mau ditembak kita bu. Saking takutnya beberapa murid kami muntah-muntah dan berak-berak. Tapi saya berusaha menenangkan mereka. Tenang nak, itu yang ditembak itu bukan kita,’’kisah Aminah menirukan perkataan dan reaksi muridnya saat itu. Saat itu, Aminah dan guru yang lain terus berusaha menenangkan murid-muridnya. Ia kewalahan menenangkan murid TK itu yang menangis bersmamaan. Belum lagi orang tua murid yang tak henti-hentinya menelepon ke sekolah untuk menanyakan anaknya. “Waduh saya hampir pingsan saat itu” katanya.

Meski umumnya ketakutan namun adapula murid TK tersebut yang memberanikan diri mengintip lewat jendela. Mereka melihat langsung bagaimana polisi tiarap memasang senjata laras panjang kemudian melepaskan tembakan beruntun. Namun gurunya buru-buru mencegatnya demi menghindari peluru nyasar.

Menurut Aminah, suasana mencekam yang diliputi ketegangan ini berlangsung sekitar empat jam. ‘’Pokoknya nanti perasaan kami mulai tenang pak setelah pasukan polisi itu beranjak dan bergerak keluar dari sekolah. Suara tembakan saat itu juga sudah reda.Tapi saya tetap menenangkan anak-anak agat tetap dalam kelas. Hingga akhirnya orang tua mereka datang satu persatu menjemputnya,’’kenangnya.

Peristiwa 22 Januari 2007 itu sangat berdampak pada murid dan aktivitas belajar mengajar di TK Tjokroaminoto. Karena peristiwa itu, sekolah diliburkan selama sepekan. Meski telah dibuka kembali namun banyak murid yang belum masuk karena trauma dan sakit.’’Nasib anak-anak kami ini sebenarnya tidak perlu terjadi andai kami tahu akan ada penyerangan. Makanya kami sesalkan karena tidak ada pemberitahuan dari polisi sebelumnya kalau akan ada penyerangan,’’pungkas Aminah sembari berharap agar peristiwa serupa tidak terulang lagi.

Suasana serupa juga terjadi di Sekolah Dasar Negeri 17 Poso. Puluhan guru dan ratusan murid sekolah yang letaknya berhadapan dengan TK Tjokrtoaminoto ini juga diliputi ketegangan dan ketakutan.Suasana pagi yang tadinya cerah berubah menjadi mencekam.

Pagi itu, lebih tiga ratus murid SDN 17 baru saja mengikuti upacara bendera dan masuk dalam kelas masing-masing. Para guru pun memulai proses belajar mengajar di kelas masing-masing.

Namun baru beberapa menit proses belajar mengajar berlangsung,tiba-tiba terdengar suara rentetan tembakan.Di jalan raya depan sekolah, terlihat puluhan polisi menenteng senjata laras panjang berlarian. Belasan diantaranya masuk ke pekarangan SDN 17.

Situasi seketika berubah jadi tegang dan mencekam. Suara tembakan dari sekitar sekolah membuat aktivitas belajar mengajar langsung dihentikan. Ratusan murid spontan menangis dan berteriak ketakutan sembari menyebut dan memanggil kedua orangtuanya. Para guru langsung meminta muridnya tiarap dilantai. Sebagian diantaranya masuk berlindung di bawah meja dan kursi.

‘’Pokoknya begitu terdengar rentetan tembakan terus, saya langsung suruh murid-murid tiarap di lantai.Saya juga berusaha menenangkan mereka agar tidak panik.Tapi dasar anak-anak, mereka tetap ketakutan.Mereka menangis bahkan berteriak histeris sambil memanggil kedua orangtuanya,’’kisah Haeriah,kepala sekolah SDN 17.

Yang membuat kepanikan semakin menjadi-jadi menurut Haeriah, karena adanya belasan polisi masuk ke pekarangan sekolah. Entah mereka bermaksud melindungi guru dan murid atau malah menjadilkan sekolah itu sebagai tempat pertahanan. ‘’Tapi saya langsung beritahu kepada polisi agar tidak melepaskan tembakan. Karena pasti ada balasan dan itu akan mengarah kepada sekolah. Jadi saya ingatkan terus kepada polisi agar tidak melepaskan tembakan.Syukurlah mereka menuruti permintaan saya,’’terangnya.

Haeriah menambahkan selama terjadi kontak senjata, ia,guru-guru dan ratusan muridnya praktis terkurung dalam ruang kelas dan tidak ada yang berani keluar.Setelah empat jam lebih dan suasana mulai agak tenang, ia pun mulai berani membuka pintu kelas.Di depan sekolah masih terlihat puluhan anggota polisi bersenjata lengkap tengah siaga.

Meski telah tenang, namun Haeriah belum berani memutuskan memulangkan murid-muridnya. Karena puluhan muridnya mulai kelaparan, ia mencoba mengatasinya dengan membelikan nasi kuning.

Nanti menjelang siang sekitar pukul 13.00 WITA, satu persatu orang tua berdatangan menjemput anaknya di SDN 17.Kepala sekolah dan guru-guru di sekolah itu pun tidak mampu mencegatnya. Banyak diantara murid terpaksa menumpang kendaraan orang tua temannya karena ketakutan. ***


Laporan ini dibuat atas kerjasama AJI Kota Palu dan Yayasan TIFA, Februari – Maret 2007