Monday, April 30, 2007

Penangkapan Sewenang-wenang

Bernafas di Ujung Laras


Pertermpuran dahsyat berdurasi delapan jam lebih antara para DPO dan sejumlah warga Tanah Runtuh dengan polisi,Senin 22 Januari 2007 silam, ternyata tak hanya menyajikan kisah suskes polisi membekuk DPO. Tapi, “perang kota” ini juga melahirkan kisah pedih, tentang sejumlah warga, yang bukan DPO dan tak berdosa. Mereka ditodong, diborgol, ditendang juga dihantam popor senapan.

Mereka tersengal-sengal, tarikan nafas tak teratur, tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. Ujung laras senapan polisi menciutkan nyali mereka untuk melawan. Berikut beberapa kisah tentang salah tangkap itu.


Jamaluddin (22) , Karyawan PT Hasrat Abadi

Tidak pernah terbayangkan dalam benak Jamaluddin kalau peristiwa 22 Januari 2007 di kawasan Kelurahan Gebangrejo,Poso Kota bakal melibatkan dirinya dan harus berurusan dengan polisi.Terlebih mendapat perlakuan tidak manusiawi dari aparat kepolisian yang menudingnya sebagai kelompok DPO dan teroris. Meski telah berlalu lebih sebulan namun peristiwa ini tetap meninggalkan trauma dan rasa jengkel dalam dirinya.

Saat ditemui di rumah kostnya di Lorong Pembantu Gubernur, Jalan Pulau Irian,Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota, Jamaluddin yang akrab disapa Jamal ini bercerita panjang lebar soal peristiwa yang dialaminya.

Pagi itu, sekitar pukul 07.30 waktu indonesia tengah seperti biasa Jamal bersiap-siap menuju tempat kerjanya yang hanya berjarak sekitar satu setengah kilometer dari tempat kerjanya. Saat itu kebetulan Jamal sendiri karena istrinya lagi menghadiri pesta pernikahan keluarganya di Bungku,kabupaten Morowali.

Namun belum sempat beranjak dari tempat duduk di teras rumah kontrakannya, tiba-tiba terdengar suara rentetan tembakan. Tidak diketahui siapa yang melepaskan tembakan secara beruntun itu.Karena panik dan ketakutan,Jamal dan penguni rumah kost lainnya bergegas masuk dalam rumah sembari tiarap.Jamal pun mengurungkan diri pergi ke tempat kerjanya.

Hingga sore hari sekitar pukul 15.30 WITA, puluhan warga yang berasal dari kawasan kelurahan Gebangrejo masuk ke tempat kontrakan Jamal untuk mencari tempat perlindungan. Di tempat itu memang terdiri dari belasan kamar berpetak-petak.Mereka yang umumnya laki-laki ini mengungsi dari rumahnya karena ketakutan menjadi sasaran tembak antara polisi dan kelompok sipil bersenjata.

Selang satu jam kemudian tiba-tiba masuk sejumlah anggota polisi mengenakan rompi dan bersenjata laras panjang.Mereka langsung memerintahkan semua laki-laki yang menghuni rumah kost agar keluar. Semua laki-laki termasuk Jamal pun keluar dari kamarnya dan dikumpul di halaman rumah. Di tempat itu mereka diperiksa identitasnya satu persatu di bawah todongan senjata. Setelah itu mereka disuruh jalan menuju pertigaan Jalan Pulau Irian-Lorong Pembantu Guberur. Setiba di tempat itu,Jamal dan belasan warga lainnya disuruh buka baju kemudian di borgol.

Karena saat itu masih terjadi kontak senjata, Jamal dan belasan warga lainnya disuruh masuk dalam sebuah gudang kosong milik salah seorang pengusaha keturunan. Selang beberapa saat kemudian,Jamal cs keluar dari gudang menuju sebuah mobil rantis. Saat itulah Jamal dan belasan warga lainnya mendapat perlakuan tidak manusiawi.Dalam keadaan telanjang dada dan mata tertutup menuju ke mobil, mereka dihantam satu persatu oleh belasan polisi bersenjata. Jamal sendiri terkena hantaman popor senjata berkali-kali di punggungnya.Kekerasan dan penyiksaan ini terjadi hingga sampai di Mapolres Poso.

Setiba di kantor Polres Poso, Jamal dan belasan warga lainnya langsung digiring menuju lorong dekat ruang tahanan.Di tempat itu, ia dan warga lainnya bukannya diamankan melainkan kembali mendapat perlakuan kasar dari puluhan polisi bersenjata.Tendangan sepatu lars dan hantaman popor senjata berkali-kali menimpa warga yang masih terborgol ini. Jamal sendiri mengalami luka memar di muka dan kening robek.

Bukan hanya perlakuan kasar dan tidak manusiawi itu,Jamal mengaku mendapat makian.’’Saya dibilangin teroris, pemberi dana teroris dan biadab.Pokoknya kata-kata itu berulang-ulang terdengar pak. Saya masih ingat terus kata-kata itu,’’kenang Jamal.

Setelah tiga jam disiksa,Jamal dan belasan warga lainnya kemudian didata dan diinterogasi satu per satu soal insiden tersebut.Seingat Jamal, ada tujubelas pertanyaan yang diajukan oleh polisi diantaranya senjata,siapa yang pegang senjata dan keterkaitan DPO-DPO tersebut. Dengan tegas Jamal menjawab kalau semuanya tidak ditahu. Jamal sama sekali tidak mengenal siapa para DPO tersebut.

Setelah ditahan semalam, sore harinya Jamal dan belasan warga lainnya akhirnya diperbolehkan pulang ke rumahnya karena dianggap tidak cukup bukti. Meski diperbolehkan pulang namun mereka tetap dikenakan wajib lapor.Seminggu kemudian, Jamal kembali dipanggil polisi dan disuruh membuat surat pernyataan apakah akan melaporkan kasus ini ke Komnas HAM. Karena saat itu pikirannya masih kacau, Jamal memutuskan tidak akan melanjutkan kasus yang menimpanya.Setelah itu, Jamal pun pulang.

Kisah itu memang telah berlalu lebih sebulan namun Jamal mengaku tidak bisa melupakannya.Rasa trauma berbaur jengkel mengenang perlakuan polisi terhadap dirinya dan puluhan warga lainnya.’’Saya masih sangat trauma pak.Apalagi kalau melihat polisi. Sampai sekarang saya masih jengkel dengan perlakuan polisi tersebut.,’’pungkasnya sembari berharap insiden serupa tidak terulang lagi.

H Rois (42), Pedagang Kelontong

Bukan hanya Jamal yang mendapat perlakuan tidak manusiawi dari polisi saat terjadi kontak senjata antara polisi dengan kelompok sipil bersenjata di kawasan kelurahan Gebangrejo, Poso Kota 22 Januari 2007.Sejumlah warga kelurahan Gebangrejo lainnya juga mendapat perlakuan serupa. Bahkan puluhan diantara mereka ditangkap, disiksa kemudian ditahan di tahanan Mapolda Sulawesi Tengah selama enam hari.Seperti yang dialami dan dituturkan H Rois, salah seorang pedagang kelontong di bilangan Jalan Pulau Madura, Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota.

Jarum jam menunjukkan sekitar pukul 06.30 Waktu Indonesia Tengah ketika H Rois baru saja membuka pintu rumahnya untuk memulai usahanya. Rumah batu berukuran sedang ini memang sekaligus dijadikan sebagai tempat usaha jual beli barang bekas H Rois sejak lima tahun silam.

Selang beberapa saat H Rois bergegas keluar dari pekarangan rumahnya karena mendengar suara imbauan yang berasal dari helikopter yang terbang dan berputar-putar di atas rumah warga. Memang ketinggian pesawat sekitar lima ratus meter namun suara imbauan itu sangat jelas yang meminta agar semua warga masuk ke dalam rumahnya masing-masing untuk menghindari peluru nyasar.

Mendengar imbauan itu, H Rois,keluarga dan empat orang anak buahnya langsung masuk ke dalam rumahnya. Namun ia belum tahu sepenuhnya apa maksud imbauan polisi melalui mikropon dalam pesawat helikopter tadi.

Sekitar satu jam lebih kemudian, H Rois dan keluarganya panik ketika mendengar rentetan tembakan. Ia tidak jelas melihat dari mana sumber dan siapa yang melepaskan tembakan tersebut. Namun H Rois menduga kalau tengah terjadi penyerangan polisi ke kawasan Tanah Runtuh. Maklum, tempat tinggal H Rois memang masuk dalam kawasan Tanah Runtuh.Takut terkena peluru nyasar, H Rois menutup pintu rumahnya rapat-rapat sembari menyuruh keluarganya tiarap di lantai.

Jelang jam dua belas siang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu agak keras dari arah luar. Setelah dibuka ternyata Ulil Albab, salah seorang putra H Rois yang sehari-harinya berjualan di Pasar Sentral Poso. Dengan muka pucat, Ulil bergegas masuk.

Hanya beberapa menit Ulil masuk, tiba-tiba terdengar lagi suara ketukan pintu. Lagi-lagi H Rois berdiri dan membuka pintu. Lututnya mulai gemetar melihat beberapa anggota polisi menenteng senjata lars panjang. Polisi itu memerintahkan H Rois dan seluruh laki-laki dalam rumah segera keluar dan berkumpul di halaman rumah.

Di tempat itu, H Rois, Ulil Albab serta empat karyawannya diborgol kemudian di suruh duduk dan dimintai identitasnya satu persatu.Setelah itu, salah seorang diantara polisi tadi menaruh sepucuk pistol rakitan ke paha salah seorang karyawan H Rois kemudian menjempretnya dengan kamera digital. Polisi tadi mengutip satu persatu karyawan H Rois termasuk Ulil Albab dengan sepucuk pistol terpasang di paha.

Saat itu H Rois sama sekali tidak berani melawan dan menolak ketika polisi memotret anaknya serta empat anak buahnya dengan sepucuk pistol di paha. Padahal senjata itu tidak diketahui darimana asalnya. ‘’Kami tidak berani melawan pak. Karena mereka mengancam kami dengan todongan senjata. Salah seorang anak buah saya bahkan menangis karena diancam akan ditembak.Yah, kami pasrah saja saat di poto. Kami sendiri tidak tahu dari mana senjata itu,’’cerita Rois dengan logat Jawa yang kental.

Setelah dipoto, H Rois, Ulil Albab dan empat karyawannya yang masih terborgol tangannya kemudian ditutup matanya dengan lakban dan digiring menuju mobil rantis.Beberapa puluh meter mobil berjalan, entah kenapa Ulil Albab dipisahkan dan diturunkan dari mobil rantis tadi. Rasa cemas pun membayangi pikiran H Rois jangan-jangan anaknya sengaja dipisahkan untuk dieksekusi.Untuk menghilangkan rasa cemas itu, dalam perjalanan menuju Polres Poso H Rois terus berdoa kepada Tuhan agar anaknya dilindungi dan tidak diapa-apakan oleh polisi.

Setiba di Mapolres Poso, H Rois dan empat anak buahnya kemudian digiring menuju sel tahanan. Kedua tangannya masih terborgol dan matanya ditutup dengan lakban.Di ruang tahanan, H Rois bergabung dengan belasan warga lainnya yang ditangkap lebih dulu.

Sekitar pukul lima sore, H Rois, empat anak buahnya serta belasan warga lainnya yang ditangkap digiring menuju mobil truk untuk dibawa ke Mapolda Sulawesi Tengah. Saat menuju truk itulah, H Rois dan belasan warga lainnya mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Mukanya dihantam dengan popor senjata serta kepala tangan berkali-kali.

H Rois tidak bisa mengelak karena kedua tangannya terborgol dan matanya tertutup sehingga tidak bisa melihat arah dan siapa yang memukulnya. Ia pun hanya bisa pasrah menerima pukulan bertubi-tubi dan puluhan polisi yang mengantarnya ke mobil truk.Perlakuan kasar itu tidak hanya berhenti disitu.Sepanjang perjalanan menuju Palu, H Rois mendengar suara rintihan dari warga yang terkena pukulan dari aparat.Dalam hati, H Rois terus berdoa agar tidak menjadi sasaran dan selamat dalam perjalanan.

Namun setiba di Mapolda Sulteng , H Rois dan belasan warga lainnya kembali diperlakukan secara kasar. Bahkan ia tidak diturunkan dari truk seperti biasanya penumpang. ‘’kami diturunkan dan dilempar dari truk pak. Kami diguling. Tangan kami tetap diborgol dan mata tertutup. Pokoknya kami diperlakukan seperti bukan manusia lagi. Saya tidak pernah membayangkan mengalami perlakuan seperti itu pak, Seumur-umur saya tidak pernah diperlakukan seperti itu,’’kisah H Rois dengan mata berkaca-kaca.

Usai disiksa, H Rois dan belasan warga lainnya kemudian dimasukkan ke sel tahanan Mapolda Sulteng. Sebelumnya, borgol dan lakban yang mengikat tangan dan mulut mereka dilepas.

Malam pertama di tahanan,H Rois didatangi sejumlah anggota polisi yang mengaku dari Mabes Polri. Anggota polisi yang berpangkat perwira menengah ini bertanya keterlibatan H Rois dalam kontak senjata dan hubungan dengan DPO Poso serta pengetahuannya tentang aliran sesat yang diduga telah diajarkan kepada warga Poso khususnya di kawasan Tanah Runtuh. Namun H Rois mengaku sama sekali tidak tahu menahu dengan apa yang ditanyakan tersebut.Pertanyaan ini juga selalu muncul setiap diperiksa dan diinterogasi oleh penyidik dari Polda Sulteng.

Menarik,dalam proses penahanan dan penyidikan itu, H Rois sempat didatangi oleh seseorang yang mengaku didatangi oleh seseorang yang mengaku Nasir Abbas. Bahkan lelaki itu memberinya kenang-kenangan berupa sebuah buku tebal berjudul Membongkar Jaringan Islamiah karya Nasir Abbas.’’Orang itu mengaku bernama Nasir Abbas. Dia (Nasir-red) bertanya, apakah saya mengenalnya atau pernah mendengar namanya. Saya bilang tidak.Itu saja,’’ujar H Rois sembari memperlihatkan sebuah buku kenang-kenangan yang dimaksud.

Setelah enam hari menjalani tahanan dan penyidikan intensif, H Rois akhirnya dibebaskan karena dianggap tidak cukup bukti. Selain dia, sembilan orang lainnya termasuk empat anak buahnya ikut dibebaskan. H Rois mengaku senang bisa bebas namun dalam hatinya, rasa trauma bercampur kesal atas perlakuan polisi itu tidak pernah hilang dan selalu dikenangnya.Terlebih tidak ada permohonan maaf dari polisi atas perlakuan pada dirinya yang dituding sebagai komplotan DPO dan teroris.

Kini H Rois kembali menggeluti usahanya seperti biasa bersama anak dan karyawannya.Hanya satu harapannya, semoga peristiwa yang menimpanya itu tidak akan terulang lagi.Selain itu, ia juga meminta kepada polisi agar bekerja secara profesional dan tidak asal main tangkap.

Laporan ini dibuat atas kerjasama AJI Kota Palu dan Yayasan TIFA, Februari – Maret 2007