Monday, April 30, 2007

Konflik Poso 1998 - 2001


POTRET KEGAGALAN NEGARA YANG TERPELIHARA

Kekerasan dan konflik yang terjadi di Poso sudah dimulai sejak 1998. Sejumlah pengamat dan kalangan media membaginya dalam ukuran “Jilid[1]. Dikatakan konflik kekerasan di Poso telah menempuh 5 Jilid. Pada penulisan ini akan menggunakan pemisahan yang berbasis pada karakter kekerasan.

Terdapat dua karakter pada konflik kekerasan yang terjadi di Poso[2]. Pertama, konflik kekerasan yang terjadi secara terbuka. Pada masa ini konflik dan kekerasan dilakukan secara masif, terorganisir dan menggunakan identitas kelompok tertentu yang bisa dikenali oleh pihak lain. Kedua, kekerasan yang terjadi secara tertutup. Pada masa tersebut kekerasan dilakukan hanya melibatkan sejumlah kecil orang, tidak tampak pergerakan massa secara masif, teror. Hal penting dari pembagian kedua karakter konflik diatas pada masa penandatanganan Perjanjian Malino untuk Poso pada tahun 2001.

Sedangkan kesamaan dari kedua konflik kekerasan diatas adalah keterlibatan aparat keamanan, baik berupa tindakan langsung, melalui individu atau unit atau kesatuan, maupun tindakan tidak langsung, seperti pembiaran, pelepasan tersangka kekerasan. Selain itu soal masifitas korban dimasyarakat non peserta konflik, terutama Perempuan dan anak-anak. Artinya apapun jenis konflik atau kekerasannya, masyarakat sipil, terutama perempuan dan anak-anak selalu dikorbankan.

Oleh karena itu penting untuk melihat konflik dan kekerasan yang terjadi di Poso sejak 1998. Upaya ini sekaligus untuk melihat pola kekerasan, aktor dan korbannya.


Peristiwa Pra-Malino (1998-2001)
Kriminal menggunakan agama, diperluas dengan melibatkan kelompok

Tahun 1998 :

Konflik dan kekerasan pertama kali terjadi pada 24 Desember 1998, peristiwa ini dipicu oleh ulah seorang pemuda yang sedang mabuk, dia adalah Roy Runtuh Bisalemba melakukan penyerangan terhadap seorang pemuda bernama Ahmad Ridwan yang sedang tertidur didalam Masjid Darussalam di kelurahan Sayo, Poso Kota. Dalam penyerangan tersebut Ahmad Ridwan dibacok, tetapi ia sempat lari dan meminta pertolongan. Dengan cepat masyarakat sekitar berkumpul dan mengejar pelaku penyerangan[3].

Roy Bisalemba adalah pemuda yang tinggal di Kelurahan Lombogia dan beragama Kristen, sedangkan korbannya Ahmad Ridwan beragama Islam. Dalam hitungan jam, konsolidasi berbasis keagamaan begitu cepat terjadi. Saat itu umat Islam Poso sedang menjalani ibadah puasa ramadhan sedangkan Umat Kristiani masih dalam suasana menghadapi puncak perayaan Natal.

Perlu diingat bahwa beberapa hari sebelum peristiwa itu terjadi kulminasi (proses pemanasan) atas perseteruan kandidat Bupati. Perseteruan ini berkembang menjadi perseteruan yang menggunakan basis agama, Bupati yang mewakili kelompok Islam dan mewakili kelompok Kristen[4].

Kondisi ini kemudian diperparah saat kedua kelompok masyarakat, Islam dan Kristen dimobilisasi, sedangkan provokasi melalui selebaran juga menyebar dikalangan masyarakat begitu cepat. Kalangan pemuda muslim dari Desa Tokorondo Kecamatan Poso Pesisir, kelurahan Kayamanya Poso Kota yang umumnya beragama Muslim sedangkan massa yang beragama Kristen yang dipimpin oleh Herman Parimo dimobilisasi menuju kota Poso.

Saat puncak perayaan natal pada tanggal 25 Desember 1998, tanda-tanda akan terjadinya kerusuhan dalam skala besar mulai muncul. Seusai sholat jum’at, massa yang dimobilisasi dari Poso Pesisir menyerang dan melempari Toko Lima yang diduga sebagai tempat penjualan minuman keras, massa terus bergerak melakukan sweeping dan menghancurkan tempat-tempat hiburan seperti bilyar, panti pijat dan hotel-hotel. Massa menganggap sasaran mereka itu yang telah menjadi pemicu membacokan Ahmad Ridwan dan telah menodai kesucian bulan ramadhan. Melihat keberutalan massa, beberapa masyarakat di kelurahan Sayo melaporkan ke Polisi namun tidak terlihat tindakan pencegahan yang pada akhirnya rumah Roy Bisalemba yang terletak di Jl. Yos Sudarso Kelurahan Sayo hancur karena amukan massa penyerang.

Keesokan harinya, 26 Desember 1998 suasana semakin mencekam. Saling serang antar massa (Islam dan kristen) tak terhindari. Di jembatan Poso Kota menjadi tempat bentrokan kedua massa, mereka menggunakan parang, panah ikan, batu dan balok.

Bertempat di Gedung Torulemba, rumah jabatan Bupati Poso pada tanggal 27 Desember 1998 kedua pihak yang bertikai dipertemukan, tokoh agama yang mewakili pihak yang bertikai turun ke kantong-kantong konsentrasi massa untuk mengumumkan hasil pertemuan damai yang baru saja disepakti, bahwa ”siapa saja dari kedua kelompok yang mewakili dua keyakinan Islam dan Kristen yangmenyulut pertikaian akan ditindak tegas”.

Usaha itu kemudian sia-sia, dihari yang sama massa Kristen dari arah Lage dan Tentena yang dipimpin oleh Herman Parimo memasuki Poso Kota, mereka menyerang dan merusak rumah-rumah penduduk muslim di kelurahan Sayo.

Pada tanggal 28 Desember 1998, Herman Parimo dan ratusan massa kristen dari arah Lage dan Tentena kembali memasuki Poso. Blokade polisi gagal menghalau ratusan massa yang terus bergerak kearah Poso Kota. Disaat yang sama, massa muslim dari kelurahan Kayamanya, Lawanga dan Parigi yang jumlahnya mencapai ribuan orang dengan menggunakan puluhan truk pick-up dan perahu motor terkonsentrasi di Kota Poso dan berhasil menghalau pergerakan massa Kristen yang dipimpin oleh Herman Parimo.

Pada tanggal 29 Desember 1998, situasi Kota Poso berangsur pulih. Puluhan Polisi yang bersenjata lengkap dan masyarakat membuat penjagaan disetiap sudut-sudut kota. Namun saat itu masyarakat masih diresahkan dengan beredarnya selebaran yang berjudul Daftar Gerombolan Pengacau Keamanan Kabupaten Poso tertanggal 24 -28 Desember 1998. Selebaran itu berisi nama-nama tokoh kedua pihak yang bertikai, mereka adalah Herman Parimo (Kristen) dan Abdul Azis Lapatoro (Islam). Belakangan diketahui setelah foresik Polri di Makassar melakukan penelitian tentang selebaran itu terbukti bahwa pembuat selebaran adalah Drs. Agfar Patanga, Kepala Bidang Sosial Budaya Badan Pembangunan Daerah (BAPEDA) Kabupaten Poso yang juga merupakan adik kandung dari Arif Patanga, Bupati Poso saat itu.

Pada tanggal 30 Desember 1998, situasi Poso berangsur aman, hal ini ditandai dengan mulai ramainya aktifitas perekenomian warga di Pasar Sentral Poso yang terletak dijantung Kota Poso. Herman Parimo dan 7 orang lainnya ditangkap polisi dengan tuduhan provokator. Pada tanggal 1 Nopember 1999 Pengadilan Negeri Palu menjatuhkan vonis 14 tahun Penjara bagi Herman Parimo, namun sebelum menjalani hukumannya dia meninggal dunia di Rumah Sakit Stella Maris di Makassar, Sulawesi Selatan. Sementara pembuat selebaran gelap, Drs. Agfar Patanga dijatuhi hukuman 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Palu pada 20 Nopember 2000.

Akibat dari kerusuhan di Poso pada tahun 1998, 17 warga mengalami luka berat, 139 luka ringan, (15 orang lainnya adalah anggota TNI), 158 rumah penduduk dibakar, 100 rumah dirusak massa, 14 mobil dan 20 kendaraan roda dua dibakar[5]. Pada periode ini kekerasan dilakukan oleh masyarakat sipil dan pasukan sipil.

Tahun 1999

Sebelum terjadi kerusuhan di akhir tahun 1998, proses penjaringan bakal calon Bupati Poso sudah dimulai. Hingga Maret 1999, sejumlah nama masuk dalam nominasi seperti Akram Kamarudin, Abdul Malik Syahadat, Abdul Muin Pusadan, Damsyik Ladjalani dan Ismail Kasim. Sementara proses ini berlangsung, pada tanggal 20 Maret 1999, Yahya Patiro, seorang tokoh masyarakat Kristen yang saat itu menjabat sebagai sekwilda Poso diserang oleh sekelompok pemuda muslim ditempat penginapannya di Hotel Wisata Poso.


Yahya Patiro diisukan sebagai salah satu penggerak kerusuhan tahun 1998 dalam selebaran yang dibuat olehAgfar Patanga. Akibat penyerangan itu, Hotel Wisata Poso dirusak oleh massa penyerang. Kepolisian menuduh Damsyik Ladjaleni sebagai otak penyerangan Hotel Wisata Poso. Atas dugaan itu, pada tanggal 29 Mei 1999 Damsyik Ladjalani menjalani pemeriksaan di Polres Poso, proses hukum kemudian terhenti tanpa diketahui alasannya. Kapolres Poso saat itu Letkol (pol) Drs. Deddy Wuryantono kemudian dimutasi dari jabatannya, sedangkan Damsyik Ladjalani kemudian menempati jabatan barunya sebagai Wakil Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah.


Pada April 1999, dilakukan penentuan calon Bupati Poso. Salah seorang figur terkuat, Abdul Malik Syahadat terlempar dari pencalonannya karena tidak ada fraksi yang mencalonkan. Pada minggu kedua Mei 1999 muncul Abdul Muin Pusadan dan Eddy Bungkundapu sebagai calon-calon unggulan.


Juni 1999, Arief Patanga diberhentikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah, H.B. Paliudju dari jabatannya sebagai bupati dan digantikan Haryono, seorang dari kalangan militer dan mantan Danrem 132 Tadulako, sebagai caretaker, untuk mempersiapkan pemilihan Bupati Poso yang akan dilaksanakan.


Menjelang pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Poso, ditandai dengan penyebaran selebaran-selebaran yang isinya provokatif dengan tuntutan power sharring agama. Akhirnya melalui pemilihan pada tanggal 30 Oktober 1999, Abdul Muin Pusadan terpilih sebagai Bupati Poso yang baru dengan 16 suara, sementara Mashud Kasim memperoleh 13 suara dan Eddy Bungkundapu 10 suara.


Tahun 2000

Kekerasan di konflik Poso kembali terjadi pada 16 April 2000 sekitar pukul 22.15 Witeng dilokasi terminal Poso. Peristiwa ini dipicu oleh perkelahian antar pemuda, seorang pemuda (muslim) asal kelurahan kayamanya bernama Dedy bersama dengan beberapa temannya terlibat perkelahian dengan seorang pemuda Kristen.

Meskipun sekedar peristiwa kriminal biasa, akan tetapi hal ini sudah diprediksi sebelumnya oleh Haelani Umar, Anggota Fraksi Persatuan Pembangunan DPRD Sulawesi Tengah. Haelani menyatakan bahwa dugaan akan terjadinya kerusuhan lanjutan. ”Jika aspirasi masyarakat yang terakumulasi diabaikan begitu saja oleh pemerintah daerah, yakni aspirasi yang menghendaki Drs. Damsyik Landjalani menjadi sekwilda Poso, kondisi kota Poso yang pernah diguncang kerusuhan bernuansa SARA (1998), bakal rusuh kembali dan akan terjadi kerusuhan yang bernuansa SARA yang lebih besar, bahkan hal ini telah dikonfirmasikan kepada beberapa tokoh agama dan masyarakat di Poso[6].

KotaPerkelahian antar pemuda itu akhirnya menjadi pemicu penyerangan ke Kelurahan Lombogia, perkampungan warga yang mayoritas dihuni oleh masyarakat Kristen di Poso Kota. Dedy, pemuda yang terlibat perkelahian itu memprovokasi masyarakat dengan mengatakan bahwa tangannya telah terluka akibat diserang oleh pemuda Kristen. Aksi Dedy itu kemudian memprovokasi sekitar 25 warga (muslim) dari kelurahan Kayamanya menyerang Kelurahan Lombogia.

Penyerangan ke Lombogia kemudian berujung bentrok massa muslim. antar kedua kelompok masyarakat (muslim-kristen) yang berlangsung hingga keesokan harinya tanggal 17 April 2000. Di perempatan terminal Poso, beberapa orang dari massa Kristen dengan menggunakan parang dan berpakaian ala ninja berhadap hadapan dengan massa Muslim yang sudah terkonsentrasi. Kedua kelompok saling serang, upaya meredakan situasi dan pencegahan keterlibatan massa dari luar Poso gagal dilakukan. Disiang hari rumah-rumah warga kristen di Lombogia dibakar, sebelumnya barang-barang berharga milik warga dijarah oleh perusuh. Bahkan Bangunan Gereja dan Gedung Serbaguna Gereja Pniel, pertokoan dan sebuah bengkel honda dijarah dan dibakar massa. Brimob Polda Sulawesi Tengah yang dikerahkan kewalahan mengendalikan massa dan pada akhirnya mereka menembak mati dua orang dari Muslim

Usai penguburan, massa muslim yang tadinya mengikuti iring-iringan jenasah berbalik arah ke Kelurahan Lombogia, mereka kemudian membakar rumah hunian sebanyak 127 rumah, 2 Gereja, gedung SD, SMP, SMU Kristen, Gedung Bhayangkari dan sebagian Asrama Polres Poso[7]. Wargan Kristen dikelurahan Lombogia, Kasintuwu dan sebagian Sayo mengungsi ke Kelurahan Madale, Dusun Kapompa, Lage, Tentena, Dusun Bukit Bambu dan sebagian Poso Pesisir.

Esok harinya, 18 April 2000 kembali terjadi pembakaran dan penjarahan rumah-rumah warga kristen di kelurahan Lombogia dan Kasintuwu, sebuah Gereja Advent di Kelurahan Kasintuwu juga menjadi sasaran pengrusakan oleh massa perusuh. Gubernur Sulawesi Tengah, H.B.Paliudju berupaya meredakan pertikaian dengan mengunjungi para pengungsi. Disayangkan, Saat itu Gubernur Paliudju menyampaikan dihadapan pengungsi di Tagolu bahwa kerusuhan itu adalah kehendak Allah[8].

Pada jum’at, 19 April 2000 massa Islam kembali melakukan penyerangan dengan pembakaran sisa-sisa rumah warga Kristen di kelurahan Lombogia dan Kasintuwu setelah dipagi hari beredar informasi ditemukannya mayat (muslim) ditengah puing rumah warga di Keluarahan Lombogia. Polisi berhasil memukul mundur massa Islam ke Mesjid Darussalam Kelurahan Sayo. Selesai sholat Jum’at, Bupati Muin Pusadan berusaha menenangkan massa dan menghimbau dihentikannya pertikaian.

Pada tanggal 20 April 2000, sebagian massa Islam masih melakukan penyerangan dan pembakaran rumah-rumah warga Kristen di Kelurahan Lombogia, Kasintuwu dan meluas hingga ke dusun Bukit Bambu Kelurahan Sayo. Keesokan harinya, Pangdam VII Wirabuana tiba di Poso kemudian memerintahkan aparat TNI dan Polri untuk membersihkan palang-palang dan pos-pos yang dibuat sebagai blokade oleh massa Islam di beberapa lokasi di Poso. Situasi keamanan dapat dikendalikan dan pertemuan-pertemuan antara kelompok digelar.

Pada periode kekerasan ini mulai terlihat keterlibatan aparat dalam konflik Poso, konflik kemudian berkembang, bentrok tidak hanya terjadi di dua kelompok warga (muslim-kristen) namun massa melakukan perlawanan terhadap aparat keamanan. Penembakan oleh anggota Brimob Polda Sulteng dapat disebut sebagai pencetus jatuhnya korban jiwa.

Bupati Poso dalam laporannya ”perkembangan konflik sosial Poso” yang dikeluarkan pada tahun 2001 menyebutkan akibat kerusuhan yang terjadi sejak 15 hingga 21 April 2000 di Poso telah mengakibatkan 37 orang meninggal dunia, 34 luka-luka, 267 rumah warga dan 3 rumah ibadah dibakar.

Berbeda dengan catatan Tempo, menurut media ini 3 orang meninggal dunia, 4 orang luka-luka, 267 rumah terbakar, 6 mobil, 5 motor hangus, 3 Gereja hancur, 5 rumah asrama polisi hancur, ruang Bhayangkari Polda terbakar dan kerugian materil ditaksir mencapai Rp. 10 Milyar, termasuk dalam hal ini tersangka 21 orang telah diperiksa sebagai saksi[9]

Pada periode konflik inilah pelebelan kelompok bertikai di Poso mulai dimunculkan, massa Kristen dikenal dengan sebutan ”Kelompok Merah” dan massa Islam mereka menyebutnya ”kelompok Putih”. Tidak diketahui asal dan alasan pelebelan ini hingga begitu cepat menjadi populer dimasyarakat Poso dan oleh para wartawan dan peneliti ikut menggunakan label ini sebagai identifikasi kelompok bertikai[10].

Hanya berselang dua minggu situasi keamanan dapat diatasi setelah kerusuhan kembali terjadi pada 16 April 2000. Keresahan masyarakat seiring dengan meningkatnya provokasi melalui selebaran-selebaran gelap yang berbunyi akan terjadi lagi penyerangan oleh salah satu kelompok yang dulu bertikai. Arus pengungsi warga Kristen juga semakin banyak kearah Napu, Tentena dan Manado Sulawesi Utara.

Jeda dari saling serang ternyata digunakan oleh kedua kelompok (Islam dan Kristen) untuk konsolidasi. Tanda-tanda pengerahan massa Kristen dari Beteleme, Kolonodale, Kelei, Betue, Sangginora dan Tentena, sedangkan di Kecamatan Parigi, massa Islam juga melakukan konsolidasi dengan mobilisasi anak muda dan berbagai bantuan logistik lainnya.

Pada 16 Mei 2000 dimulai dengan terbunuhnya seorang warga muslim di perkampungan warga Kristen di Taripa, Pamona Timur dan beredarnya informasi di masyarakat Islam Poso bahwa seorang petugas penyuluh pertanian di Pamona Utara akan dibunuh oleh massa Kristen.

Pembunuhan dan penyebaran informasi di masyarakat memuncak pada tanggal 19 Mei 2000 di Desa Taripa. Ratusan massa Kristen melakukan blokade dan pemeriksaan setiap kendaraan yang melintas dijalan trans Sulawesi itu. Konsentrasi massa Kristen di depan Gereja Desa Taripa berhasil dibubarkan oleh aparat keamanan namun di perkampungan warga Kristen di Poso Kota dan sebagian Poso Pesisir warga terus mengungsi ketempat-tempat yang dianggap aman.

Pada 23 Mei 2000, delapan hari menjelang kenaikan Isa Al Masih beredar informasi dikalangan warga Islam bahwa akan terjadi penyerangan oleh massa kristen dari Tentena kepemukiman warga Islam di Poso Kota.

Pada saat yang sama, Kapolres Poso bersama dengan komponen masyarakat dan pemerintah daerah melakukan pertemuan, namun pemuda dari Kelurahan Kayamanya sudah turun bergerombol dijalan karena sebelumnya sudah beredar informasi bahwa akan ada penyerangan dari Massa Kristen Tentena.

Para pihak yang mengikuti pertemuan itu kemudian berusaha memastikan informasi tentang rencana penyerangan kepada unsur Tripika (Camat, Koramil, Kapolsek) di Tentena Pamona Utara. Jawaban yang diterima oleh Kapolres Poso dari unsur Tripika Pamona Utara bahwa tidak benar adanya konsentrasi massa di Tentena dan tidak benar akan ada penyerangan dari Tentena.

Yakin dengan laporan Tripika Pamona Utara, kemudian Kapolres Poso meminta Pemda untuk mengumumkan kepada masyarakat. Mobil penerangan yang berkeliling ke seluruh penjuru kota pada malam itu menginformasikan tidak benarnya rencana penyerangan ke Poso Kota. Masyarakat Kota Poso kemudian dapat tertidur pulas, percaya karena informasi itu disampaikan oleh Pemda sendiri[11].

Namun pada dini hari 24 Mei 2000, muncul sekelompok massa yang tidak lebih 12 orang dengan menggunakan pakaian ala ninja di depan pasar sentral Poso dan bergerak menuju Kelurahan Kayamanya. Mereka menyebut kelompoknya ”Pejuang Pemulihan Keamanan Poso”, masyarakat muslim termasuk wartawan dan peneliti penyebut kelompok ini sebagai ”pasukan kelelawar”. Kelompok ini dipimpin oleh Fabianus Tibo (55), Putra Flores NTT yang berdomisili di Desa Jamur Jaya. Mereka berhasil melewati tujuh pos penjagaan (pos kamling) tanpa adanya perlawanan[12]. Tidak satupun yang dilukai oleh pasukan ini karena mereka hanya mencari provokator pada kerusuhan April lalu.

Namun, Saat kelompok pimpinan Tibo ini menuju Panti Asuhan Santa Theresia di Kelurahan Moengko Baru, seorang polisi, Serma Komarudin Ali (47) yang berusaha mencegat dibunuh dengan tebasan parang dibagian tangan, pistol yang digenggamnya hilang saat itu. Ketika memasuki Kelurahan Kayamanya, seorang warga bernama Abdul Syukur (40) yang mencoba menghalangi pasukan Tibo dibunuh dengan luka bacokan. Seorang mantan lurah, Ali Baba (60) yang juga berusaha menghalau pasukan Tibo ikut dibunuh di kelurahan Moengko Baru[13].

Di Poso Kota bunyi tiang listrik ditabuh berkali-kali, pertanda bagi masyarakat Poso adanya penyerangan. Seketika massa Islam terkonsentrasi dan bergerak menuju Gereja Katolik Santa Theresia di Kelurahan Moengo Baru, mereka menduga tempat ini dijadikan Tibo bersama 11 anggota pasukan lainnya bersembunyi. Massa Islam yang marah langsung menyerang masuk ke kompleks Gereja dan Panti Asuhan Santa Theresia, kecewa tidak menemukan Tibo dan pasukannya, ratusan massa Islam kemudian membakar gereja dan rumah-rumah dilokasi Gereja Santa Theresia.

Pada tanggal 25 Mei 2000, ratusan warga muslim dari Kecamatan Ampana dimobilisasi dengan menggunakan truk-truk dan mobil kijang pick-up menuju Kota Poso. Mereka bermaksud memberi bantuan kepada Warga Muslim di Poso Kota yang diserang oleh Pasukan Tibo, namun saat memasuki Desa Toyado mereka dicegat dan terjadi bentrok dengan massa Kristen dari Desa Silanca, Sepe, Batugencu dan Toyado yang memang sudah bersiap mengahadang dengan persenjataan parang, dum-dum[14] dan panah ambon. Massa Islam dipukul mundur dan rumah-rumah milik warga Muslim di Toyado di bakar. Bentrokan ini mengakibatkan dua orang dari Massa Islam meninggal dunia dan 16 orang lainnya mengalami luka-luka.

Dari Kecamatan Parigi warga muslim yang umumnya anak muda dimobilisasi menuju Kota Poso, mereka mendengar bahwa warga muslim di kota Poso telah diserang dan bantuan dari Amapana pun gagal masuk di Kota Poso.

Pada tanggal 26 Mei 2000 sekelompok massa Kristen yang dipimpin oleh Ir. Advent Lateka meminta kepada Kapolres Poso, Djasman Baso Opu untuk segera mengosongkan pos-pos aparat keamanan dan masyarakat karena Massa Kristen akan memasuki Kota Poso dari arah sangginora, arah barat Kota Poso. Karena situasi keamanan di Poso semakin memburuk, rumah kediaman Bupati Poso dipindahkan untuk sementara di markas Kodim 1307 Poso. Sementara itu di Desa Toyado, Tongko dan Tagolu terjadi pengungsian warga Muslim secara besar-besaran, rumah dan kios warga dijarah dan dibakar oleh massa perusuh (kristen).

Keesokan harinya, 27 Mei 2000 massa Kristen yang hendak memasuki Kota Poso bentrok dengan Massa Islam di depan mesjid dikelurahan Kayamanya. Pada saat yang hampir bersamaan terjadi penyerangan dirumah-rumah muslim di Desa Mapane, Poso Pesisir. Massa penyerang diduga membagi dua jalur keberangkatannya menuju Poso Kota. Karena bentrokan di Kayamanya, massa kristen gagal memasuki Kota Poso dan akhirnya terpukul mundur.

Pada 28 Mei 2000 sejumlah warga muslim yang mengungsi dari Desa Tabalu, Bega, Tiwaa, Tambarana, Kasiguncu dan Mapane Poso Pesisir melaporkan bahwa rumah mereka dijarah dan dibakar oleh massa Kristen yang menyerang sehari sebelumnya. Penyampaian warga kemudian disambut dengan kemarahan warga muslim lainnya yang tengah berkumpul di Pondok Pesantren Al Khairaat.

Sedangkan warga muslim di Desa Sintuwulemba dan lokasi Pesantren Walisongo sudah mulai khawatir akan adanya penyerangan terhadap diri mereka. Melalui pengurus Pesantren Walisongo, mereka meminta perlindungan aparat pemerintah ditingkat Tripika Kecamatan Lage. Saat itu warga muslim di pesantren sudah mengalami teror namun oleh Camat dan Kapolsek Lage tetap mencegah pengungsian warga muslim dari Desa Sintuwulemba dengan alasan situasi masih aman dan menjamin bahwa massa Kristen tidak akan menyerang mereka.

Kekhawatiran warga terbukti, walaupun Fabianus Tibo mengizinkan warga mengungsi namun tak lama kemudian massa Kristen yang sudah terkonsentrasi di Tagolu dan Tambaro menyerang pemukiman muslim di Desa Sintuwulemba, perempuan dan anak-anak disandera dan warga laki-laki dibunuh secara sadis. Tim Peneliti Universitas Tadulako dalam laporan serial konflik Poso menyebut sejumlah 70 orang pengurus dan santri Ponpes Walisongo dibantai didalam mesjid, anak-anak dan wanita yang belum sempat menyingkir mengalami perkosaan dan pelecehan seksual. Sedangkan disepanjang jalur trans sulawesi di Poso – Pendolo – Mangkutana terjadi penghadangandan dan penyanderaan terhadap warga muslim yang menggunakan kendaraan pribadi dan umum[15]

Pada 29 Mei 2000 di Desa Tokorondo Poso Pesisir terjadi bentrok antara massa penyerang (kristen) dengan massa muslim, umumnya pemuda Desa Tokorondo dibantu oleh massa dari Parigi dan Pompes Al Khairaat Palu bertahan dengan menggunakan senjata parang, panah, tombak dan senjata rakitan dum-dum. Sedangkan pihak penyerang (Kristen) yang jumlahnya lebih banyak dari massa Islam menggunakan parang, tombak, senjata rakitan dum-dum. Bahkan menurut laporan tim peneliti Univeritas Tadulako, berdasarkan informasi yang didapat dari saksi mata, massa Kristen menggunakan senjata organik M-16 dan Thomson[16]. Kontak senjata antara massa Islam dan Kristen berlangsung hingga keesokan harinya, 30 Mei 2000 dan mengakibatkan 2 warga muslim meninggal dunia.

Dihari yang sama, kota Poso dikepung oleh massa Kristen dari empat penjuru, yaitu Kelurahan Tegal Rejo, Sayo, Kayamanya dan kawasan PDAM di Kelurahan Gebang Rejo. Akibatnya rumah-rumah warga muslim hangus dibakar oleh perusuh dan terjadi pengungsian besar-besaran kearah Parigi, Ampana, Palu dan sebagian menggunakan perahu menuju Gorontalo.

Peristiwa ini berlangsung begitu cepat, tuduhan kepada aparat yang seolah membiarkan massa menyerang memasuki Kota Poso tergolong masuk akal, jarak antara markas Kepolisian Resort Poso terbilang dekat, hanya berjarak (paling jauh) kira-kira 4 Km dari lokasi penyerangan.

Kabar dari Tagolu kembali membuat massa Islam marah, saat itu, 1 Juni 2000 ditemukan puluhan mayat yang tidak utuh lagi, mayat-mayat itu dibiarkan membusuk di suatu ruang rumah warga di dekat lapangan Tagolu, mayat-mayat warga muslim juga banyak ditemukan di Desa Sintuwulemba. Sementara di Kalora, Poso Pesisir pemukiman penduduk muslim diserang dan dibakar oleh massa Kristen yang menyerang pada dini hari. Warga yang umumnya anak-anak dan wanita mengungsi ke Parigi. Penyerangan dari massa kristen semakin massif dilakukan, saat itu Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah menerapkan status siaga tertinggi dengan perintah tembak ditempat terhadap pelaku kerusuhan.

Pada 2 Juni 2000, lebih dari 500 orang massa Kristen yang dipimpin oleh tokoh pejuang pemulihan Kota Poso, Ir. Adven Lateka berusaha memasuki kota Poso. Namun iring-iringan massa Kristen ini dihalau oleh massa Islam yang jumlahnya jauh lebih kecil di kelurahan Kayamanya. Lateka kemudian dikabarkan meninggal setelah terlibat bentrok dengan massa Islam di Kayamanya. Habib Al Idrus yang memimpin massa Islam berhasil melumpuhkan Lateka dengan pukulan rotan dibagian tengkuknya dan pada akhirnya meninggal dunia[17]. Menurut penilaian banyak pihak, peristiwa terbunuhnya sang pemimpin Lateka menyebabkan moral massa Kristen jatuh dan mundur kembali. Penyerangan-penyerangan yang dilakukan setelah terbunuhnya Lateka hanya bersifat sporadis terutama dapat dilihat pada peristiwa penyerangan di Kecamatan Lage, Desa Toini, Kelurahan Sayo, Boe, Toinasa dan Pendolo.

Saat itu muncul sebuah surat yang dibuat oleh (Almarhum) Ir. Lateka, salah seorang pimpinan penyerangan ke Kota Poso. Dalam surat yang berjudul ‘Tuntutan Perjuangan’ dijelaskan dua garis besar[18], pertama menunjukkan keresahan warga Kristen atas tidak amannya kondisi kehidupan mereka. Hal ini juga disebabkan oleh ketidakmampuan aparat pemerintah/keamanan dalam menjalankan tugasnya. Kedua, menunjukkan inisiatif untuk melakukan perlawanan sekaligus menumpas ‘provokator’ kekerasan/kerusuhan di Poso.

Sepekan lagi Presiden Abdurrahman Wahid membuka kegiatan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke–XI di Palu. Saat itu, 3 Juni 2000 situasi di Poso kembali mencekam dengan ditemukannya mayat warga muslim di kuala (sungai) Poso, sungai yang membelah Kota Poso. Peristiwa ini kemudian membuat warga muslim di Poso dan Palu marah. Di Palu status keamanan ditingkatkan menjadi siaga 1, hampir setiap sudut kota didirikan pos jaga (kamling) masyarakat. Sedangkan beberapa kelompok masyarakat menghimpun bantuan makanan dan pakaian untuk warga muslim yang mengungsi, ada juga yang secara aktif memobilisasi anak muda dengan seruan jihad, membalas dendam warga muslim yang terbantai di Poso.

Pada 6 Juni 2000, di Desa Malei Kecamatan Lage, penyerangan dan pembakaran rumah-rumah warga muslim kembali terjadi. Aksi balas dendam ini mengakibatkan puluhan warga yang umumnya laki-laki meninggal dunia dan 9 orang ditangkap karena diduga sebagai provokator kerusuhan.

Pangdam VII Wirabuana, Mayjen Slamet Kirbiantoro menyebut 112 korban jiwa selama periode 16 Mei – 5 Juni 2000. Slamet juga mengatakan adanya pergantian kepemimpinan di kalangan kelompok Kristen. Pucuk pemimpin saat itu dipegang oleh Tungkanan, seorang purnawirawan TNI berpangkat pembantu letnan satu. Sedangkan dilapisan bawah terdapat dua panglima yaitu Yanis Simangunsong (panglima I) dan Fabianus Tibo (panglima II)[19]

Namun pada tanggal 25 Juli 2000 setelah melalui negoisasi yang alot, Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva dan Marinus Riwu akhirnya menyerahkan diri kepada Komandan Batalyon II Operasi Cinta Damai, Kapten Infanteri Agus Firman Yuswono dan Kapten CZI. Aldi Rinaldy dan kemudian diserahkan kepada Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah[20].

Hal yang terpenting pada periode konflik ini adalah penyitaan paket kiriman senjata ke Poso pada awal Juni 2000. Polda Sulteng mencurigai kiriman yang ditujukan ke Kanwil Dephutbun Sulteng sebagai bagian yang memperparah konflik Poso. Saat itu Polda Sulteng berhasil menyita 55 pucuk senjata dan amunisi 11 koli dari Mega Kargo namun Kakanwil Dephutbun Sulteng, M. Ridwan Hasan membantah bila pihaknya memesan senjata itu, Polisi pun kemudian tidak melakukan pengusutan sampai tuntas kiriman paket misterius itu.

Tahun 2000 benar-benar menjadi tahun yang sangat menakutkan bagi warga Poso. Kerusuhan antar warga pada periode ini bisa dibilang yang paling massif. 685 rumah terbakar, 58.005 jiwa warga mengungsi kewilayah Sulawesi Tengah dan luar Sulawesi Tengah[21].

Tahun 2001

Dengan terlaksananya Rujuk Sintuwu Maroso, selama hampir satu tahun (Juni 2000 – Mei 2001) kondisi keamanan di Poso bisa terbilang tenang. Periode kekerasan pada tahun 2001 diawali dengan penembakan terhadap Wahyudin Tolii, warga Desa Malei Kecamatan Tojo. Pelaku penembakan tidak diketahui sedangkan korban dirujuk ke rumah sakit karena mengalami luka serius dibagian perut dan paha.

Pada periode ini, wilayah yang menjadi titik pertikaian tidak lagi di pusat Kota Poso,tetapi telah bergeser kebeberapa desa dipinggiran kota. Umumnya aksi saling serang terjadi di desa-desa kecamatan Poso Pesisir dan Lage.

Pada 6 Januari 2001 bus angkutan umum Omega dengan nomor polisi DN 7548 A jurusan Palu – Tentena dibom oleh orang tak dikenal di Desa Peore Kecamatan Sausu. Akibat ledakan ini, badan kendaraan mengalami rusak berat, dua penumpang meninggal dunia dan 14 penumpang lainnya mengalami luka bakar.

8 Februari 2001, Warga Kristen di Tentena membakar dua mobil box milik koperasi Angkatan Laut asal Makassar Sulawesi Selatan. Pembakaran ini terjadi di Kelurahan Sangele Pamona Utara yang diduga sebagai aksi balas dendam atas pemboman bus Omega di Sausu. Selain membakar mobil, massa juga menganiaya penumpang mobil hingga tewas, Abdul Rasyid meninggal di tempat kejadian karena mengalami patah tulang belakang sedangkan dua orang lainnya mengalami luka dan berhasil melarikan diri sehingga dapat tertolong di RSU Poso[22].

Ditemukan dua mayat di tepi sungai Kayamanya, mayat tersebut diketahui adalah warga pengungsi asal Tentena bernama Ono (25) dan Rantung (28) dari hasil outopsi diketahui korban meninggal akibat pukulan benda keras dan dibeberapa bagian tubunya terdapat luka tusukan benda tajam. ke dua mayat ini ditemukan pada 21 Februari 2001.

3 April 2001 sebuah pos polisi di Kelurahan Sayo diserang oleh kelompok perusuh. Akibatnya, seorang anggota Perintis Polda Sulteng, Bripda Muslimin dan seorang warga bernama Rina tewas akibat luka bacokan dibagian kepala dan lengan. Kelompok penyerang diperkirakan berjumlah 30 orang, satu diantara mereka tewas setelah anggota polisi lainnya melepaskan tembakan. Peristiwa ini juga mengakibatkan dua polisi lainnya, Briptu Ismoyo dan Bripda Hadi Siswanto mengalami luka yang cukup parah[23].

Keesokan harinya 4 April 2001, massa Kristen di Poso Pesisir menyerang dan membakar 20 petak barak pengungsi muslim di Desa Padanglembara, Poso Pesisir. Peristiwa itu tidak mengakibatkan jatuhnya korban jiwa namun warga lari tunggang langgang ke hutan menyelamatkan diri.

Pada 15 April 2001, sekitar 100 orang yang menggunakan ikat kain berwarnah merah dileher melakukan pengrusakan kebun-kebun warga muslim di Desa Tabalo, Poso Pesisir. Mereka menebangi pohon-pohon kakao warga yang siap panen. Pemilik kebun yang melaporkan kejadian ini ke Polres Poso dan Kodim 1307 Poso tidak berarti apa-apa, empat anggota TNI yang diturunkan di tempat kejadian tidak bisa berubuat apa-apa setelah massa menembaki kearah TNI. Keesokan harinya, 16 April 2001 sebuah mesjid di Kelurahan Ranononcu Kecamatan Poso Kota di bakar massa, tidak ada korban jiwa karena warga muslim di Ranononcu sudah mengungsi sebelumnya kearah Kota Poso.

Kapolda Sulteng seusai mengunjungi Poso mengatakan bahwa Polisi akan mengambil tindakan tegas bagi kelompok perusuh dengan perintah tembak ditempat, Kapolda juga mengklarifikasi bahwa massa yang menggunakan ikat merah dileher bukan dari massa Kristen[24].

Pada tanggal 6 Mei 2001, Kantor Kecamatan Poso Pesisir dibakar oleh kelompok perusuh.

Pada 21 Mei 2001 terjadi penyerangan di Kelurahan Kasiguncu, rumah-rumah milik warga Kristen diserang dan dibakar. Penyerangan ini mengakibatkan dua warga tewas dan lima lainnya dilaporkan hilang oleh keluarganya.

28 Mei 2001, wartawan Poso Pos, I Wayan Sumiarse (25) dinyatakan oleh kerabat kerjanya hilang setelah sebelumnya mendatangi kampus Universitas Sintuwu Maroso (Unsimar) Poso.[25]

Dini hari, 10 Juni 2001 di antara Desa Sawidago dan Desa Kelei Pamona Utara sebuah mobil box dengan nomor polisi DD 9081 L milik perusahaan swasta asal Makassar dibakar oleh massa. Dua penumpangnya ditemukan tewas terpanggang didalam mobil sedangkan sopir dan seorang penumpang lainnya dinyatakan hilang[26].

Pada 20 Juni 2001, dua warga Desa Tokorondo tewas ditembak oleh kelompok yang berpakaian ala ninja di Desa Pinedapa. Sepekan kemudian pada tanggal 27 Juni 2001, terjadi kontak senjata di antara Desa Masani, Desa Saatu dan Desa Pinedapa. Kelompok penyerang dari arah Desa Tokorondo Kecamatan Poso Pesisir. Akibat dari kontak senjata ini sedikitnya tiga orang tewas dan puluhan warga lainnya mengalami luka-luka.

Komandan Satuan Tugas Operasi ”Sadar Maleo” Kolonel Polisi Zainal Abidin Izhak, SH menyatakan aktor kerusuhan Poso pada periode kedua, Dedi (18) berhasil ditangkap oleh polisi di Desa Dolong Kecamatan Walea Kepulauan. Dalam pemeriksaan polisi, Dedi mengaku tidak pernah dipukul atau dibacok oleh pemuda dari kelurahan Lombogia. Ia pun mengakui luka irisan ditangannya dilakukan sendiri saat mabuk[27].

Seusai sholat Jum’at pada tanggal 24 Juni 2001 terjadi penyerangan kerumah-rumah warga di kelurahan Kawua. Kelompok penyerang menggunakan cadar dan sepatu lars. Penyerangan disiang hari itu menewaskan seorang anggota Babinsa Poso Pesisir, Sertu Rudy Ilham dan seorang warga sipil yang bernama Kuster Lakala alias Usdek (50).

Pada 26 Juni 2001, TNI Kompi B Yonif 711 Raksatama berhasil menangkap perusuh di Desa Batugencu Kecamatan Lage. Saat penangkapan TNI juga berhasil mengamankan senjata organik jenis LE, pistol jenis colt 38 dan puluhan amunisi buatan pindad.

Dihari yang sama kerusuhan yang terjadi Poso Kota, Poso Pesisir dan Kecamatan Lage sudah meluas hingga ke Kecamatan Mori Atas dan Tomata Kabupaten Morowali. Dari peristiwa ini dilaporkan sekitar 50 buah rumah warga rusak dan dibakar massa perusuh.

Pada 27 Juni 2001, terjadi penyerangan oleh kelompok tak dikenal ke Desa Saatu Poso Pesisir, akibatnya seorang warga Desa Saatu meninggal dunia. Sebanyak 1 peleton aparat gabungan TNI/Polri yang tiba dilokasi kejadian tidak mampu mengendalikan massa yang marah, akibatnya, tiga pemuda Desa Saatu tewas ditembak oleh aparat. Ditangan korban disita tiga pistol rakitan, satu senjata rakitan laras panjang, tiga panah dan parang. Selain itu Polisi juga menahan tiga warga di Polres Poso.

Keesokan harinya, 28 Juni 2001 sekitar pukul 11.00 Witeng diantara Desa Pandiri dan Watuawu, sebuah mobil kijang pick up asal Sulawesi Selatan ditemukan oleh Kepolisian Polres Poso dalam keadaan terbakar. Polisi tidak menemukan pemilik mobil dan pelaku pembakaran. Berselang dua jam, pukul 13.00 Witeng di Kelurahan Sayo telah terjadi penembakan yang mengakibatkan seorang warga muslim tewas dengan luka tembakan dibagian punggung. Dua peristiwa ini juga telah memicu aksi pembakaran sebuah rumah milik warga muslim di Jalan Talasa yang telah ditinggal mengungsi pemiliknya.

30 Juni 2001, dipicu oleh beredarnya isu akan ada mobilisasi besar-besaran oleh warga Kristen di Tentena menuju Poso mengakibatkan ribuan massa Islam dari Ampana dengan menggunakan truk dan kijang pick up menuju Kota Poso. Saat di Desa Malei Kecamatan Lage, rombongan warga dari Ampana dicegat oleh massa Kristen dan bentrokan tak terhindarkan. Akibatnya seorang warga meninggal dunia dan 50 rumah warga terbakar. Untuk mencegah tidak meluasnya kerusuhan, dua peleton aparat gabungan Polisi dan TNI diturunkan melokalisir tempat kejadian.

Kerusuhan masih berlanjut di Malei Lage, pada 1 Juli 2001, akibat kerusuhan yang berlangsung dua hari itu telah mengakibatkan 85 rumah warga dibakar, satu orang tewas dan satu bangunan Gereja dibakar oleh kelompok penyerang. Pasca penyerangan di Malei Lage terlihat konsolidasi semakin kuat dilakukan warga muslim dengan mendirikan pos-pos penjagaan dan sejumlah portal dipasang ditengah jalan. Dipertigaan poros jalan Malei Lage - Ampana terdapat pos ”mujahidin medan”.

Pada 2 Juli 2001, sekelompok warga Kristen yang mengatasnamakan diri Masyarakat Tanah Poso yang dipimpin oljh Johanis Santo dari arah Tentena bergerak menuju Poso. Mereka menggunakan truk, kijang pick up dan puluhan sepeda motor. Saat memasuki wilayah Poso Kota, ribuan warga di kelurahan Sayo memasang blokade untuk mencegah masuknya kelompok itu ke kota Poso. Kapolres Poso, Djasman Baso Opu dan Kasdim Poso, Juhidin memberikan pengarahan kepada massa yang sudah berhadap hadapan di Sayo, akhirnya massa Kristen membubarkan diri dan kembali ke Tentena[28].

Keesokan harinya, 3 Juli 2001 sekitar pukul 04.00 Witeng terjadi penyerangan di perkampungan warga muslim di Dusun Buyung Katedo Desa Sepe. Kelompok penyerang berpakaian ala ninja dari arah Desa Sepe dan Silanca, akibatnya 13 warga muslim yang umumnya pendatang dari Sulawesi Selatan itu dibunuh secara sadis. Diantara 13 korban diketahui seorang wanita hamil, seorang anak berusia sekitar satu tahun dan seorang imam mesjid.

Mengantisipasi adanya serangan balasan dari massa Islam, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah menambah kekuatan personilnya sebanyak tiga SSK dari satuan Brimob dan Perintis Polda Sulawesi Tengah.

Situasi keamanan di Poso semakin memburuk seiring dengan meningkatnya penyerangan keperkampungan warga. Pada 4 Juli 2001 empat SSK TNI Angkatan Darat dan Brimob dari Makassar dan Sulawesi Utara di perbantukan di Poso untuk memperkuat pengamanan yang sudah ada sebelumnya.

5 Juli 2001 penyerangan dan pembakaran barak pengungsian di Desa Toyado oleh massa dari arah Desa Sepe, Silanca, Batugencu dan Tagolu. Aparat Polri dari satuan Brimob yang berada dilokasi mencoba menghalau serangan massa namun disambut dengan perlawanan massa penyerang, akhirnya kontak senjata antara massa penyerang dan aparat tak terhindarkan, enam orang dari massa penyerang dikabarkan meninggal dunia atas peristiwa itu.

Keesokan harinya, 6 Juli 2001 penyerangan kembali terjadi di dua Desa di Poso Pesisir, Desa Pinedapa dan Saatu. Akibatnya 235 rumah warga, 2 rumah ibadah dibakar massa penyerang dan seorang warga asal Pamona tewas tertembak[29].

7 Juli 2001, sekitar 12 rumah milik warga Kristen di Ampana dibakar oleh massa Muslim. Peristiwa itu terjadi pada malam hari sekitar pukul 23.00 Witeng, tidak ada korban jiwa karena rumah-rumah tersebut sudah ditinggal oleh pemiliknya yang mengungsi ke Tentena. Keesokan harinya, 1 Satuan Setingkat Kompi TNI tiba di Ampana untuk membantu melokalisir peristiwa tidak meluas.

8 Juli 2001, ribuan warga muslim di Kota Poso menggelar demonstrasi. Mereka menolak rencana Gubernur Sulawesi Tengah Aminudin Ponulele yang hendak melakukan kunjungan kerja ke Tentena. Para pendemo juga menyatakan kekecewaannya atas usaha pemerintah yang dianggap tidak maksimal menangani situasi keamanan di Poso yang semakin memburuk. Setelah dilakukan negoisasi akhirnya lima orang perwakilan masyarakat ditemui Gubernur Sulteng.

9 Juli 2001, ribuan warga berunjuk rasa di depan Mapolsek Pamona Utara, mereka menuntut Brimob asal Makassar yang di BKO (bawah kendali operasi) kan di Tentena segera ditarik. Warga kecewa dengan cara penanganan Brimob saat menghalau massa di Desa Toyado pada 5 Juli 2001 yang mengakibatkan enam warga Kristen tewas tertembak.

Pada tanggal 13 Juli 2001 di Pendolo dan Uwelene Kecamatan Pamona Selatan terjadi kontak senjata antara massa Islam dan massa Kristen. Akibatnya, dua orang meninggal dunia dan delapan lainnya terluka.

Pada 17 Juli 2001, tiga warga trans asal Madura di Desa Malino dilaporkan hilang oleh keluarganya. Dari keterangan saksi yang dihimpun oleh Babinsa Desa Malino diketahui ketiga korban itu diculik dan dibantai oleh tiga orang asal Desa Pandalagi.

18 Juli 2001 di Palu, Wakil Ketua DPP Forum Komunikasi Ahlul Sunnah Waljamaah (FK-AWJ), Ayib Syarifuddin[30] melakukan pertemuan dengan Gubernur Sulteng, Ketua DPRD Sulteng dan sejumlah pejabat kepolisian dan TNI. Pada pertemuan itu, FK-AWJ menyatakan rencananya akan melakukan respon kemanusiaan di Poso. Tiga hari sebelumnya 759 Laskar Jihad asal Jawa Timur telah memasuki Sulawesi Tengah dengan menggunakan KM. Tidar, mereka berlabuh di Pelabuhan Pantoloan-Palu[31].

21 Juli 2001, Mayat Drs. Hanafi Manganti ditemukan terapung oleh warga di danau Poso Tentena. Kondisi mayat ditemukan beberapa luka bacokan yang diduga karena benda tajam. Tidak diketahui motif pembunuhan ini, namun korban merupakan warga muslim muallaf yang sedang mengunjungi keluarganya beragama kristen yang mengungsi di Tentena.

Dihari yang sama, sebuah bus milik Po. Antariksa jurusan Tentena – Palu dihadang dan dilempari oleh massa Islam yang bergerombol di Poso Kota. Kejadian ini diduga merupakan reaksi dari penemuan mayat Drs. Hanafi Manganti di Tentena.

24 Juli 2001, lebih dari 500 warga Muslim dari Poso Kota, Poso Pesisir, Ampana dan Parigi berunjuk rasa di Markas Polisi Daerah Sulawesi Tengah diPalu. Unjuk rasa itu berakhir ricuh setelah bom yang berkekuatan low explosive diledakkan di samping ruangan Kaditserse Polda Sulteng. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini namun seorang pengunjuk rasa mengalami luka-luka terkena serpihan bom. Unjuk rasa itu mengatasnamakan diri Forum Silaturahmi Perjuangan Umat Islam Poso (FSPUI Poso), mereka mendesak Polisi agar lima warga muslim yang ditahan di Polda Sulteng dialihkan penahanannya menjadi tahanan luar. Sepekan sebelumnya polisi saat melakukan sweeping di lokasi MTQ Palu menangkap lima orang tersebut karena ditemukan membawa 4.550 butir peluru tajam.

2 Agustus 2001, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah menempatkan empat perwira menengah di empat wilayah yang dianggap rawan menyusul meningkatnya ancaman keamanan di Poso[32].

6 Agustus 2001, sebuah bom berkekuatan low explosive diledakkan di Posko Tim Rekonsiliasi di Poso Kota. Tidak ada korban jiwa dan terluka akibat ledakan ini.

Menyusul peledakan bom di Posko Tim Rekonsiliasi Poso, pada 7 Agustus 2001 dua Fraksi di DPRD Sulawesi Tengah, Fraksi TNI/Polri dan PDI Perjuangan mengusulkan pemberlakuan darurat sipil untuk mempercepat pemulihan keamanan di Poso. Namun usulan itu di tolak oleh Fraksi lainnya melalui pleno lembaga legislatif daerah tersebut. Penolakan itu didasari karena pemerintah daerah dan pihak keamanan setempat masih mampu menanganinya.

15 Agustus 2001, Salah satu presidium Forum Silaturhmi Perjuangan Umat Islam (FSPUI) Poso, Syarifullah Djafar mendesak pemerintah provinsi Sulawesi Tengah untuk segera menyatakan secara resmi bahwa Kelompok Merah[33] sebagai musuh negara, bilamana tuntutannya tidak dipenuhi maka umat Islam akan menyelesaikan persoalan Poso sesuai dengan norma-norma Islam[34].

Pada 3 September 2001, Rektor Universitas Sintuwu Maroso Poso, Drs. J. Kogege ditembak oleh orang tidak dikenal saat mengendarai mobilnya di sekitar jembatan Poso. Korban berhasil diselamatkan oleh tim medis di RSU Poso setelah luka tembak dibagan mata[35].

7 September 2001, seorang warga Kelurahan Kasiguncu, Henny Kalengkongan (27) dilaporkan oleh keluarganya hilang dalam perjalanan menuju Tangkura dari rumahnya di Kelurahan Kasiguncu.

Sehari sebelum kunjungan Kapolri Bimantoro di Poso, pada 14 Sepetember 2001 penembakan kembali terjadi, korbannya adalah Nurdin warga Desa Sadela Kecamatan Tojo. Penembakan ini terjadi didepan gereja GKST Kasiguncu, terdengar satu kali tembakan yang mengenai pinggul korban yang saat itu bergantungan dimobil yang ditumpanginya menuju Desa Sausu. Pelaku penembakan tidak diketahui.

Tiga hari kemudian, 17 September 2001, dua warga Desa Betania Poso Pesisir ditembak oleh orang tidak dikenal dikebunnya. Korban Matius Bujalemba (40) meninggal dunia dengan luka tembak dibagian kepala sedangkan Kailudin Lumbangkila (48) berhasil diselamatkan dengan luka tembak dibagian perut sebelah kanan[36].

19 September 2001, Desa Kawende Poso Pesisir diserang pada dini hari oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. Seorang warga tertembak bernama Musa parise (40) berhasil diselamatkan di RSU Undata Palu dengan luka tembakan dibahu sebelah kanan. Pasca penyerangan, pihak kepolisian di Poso menangkapa tiga pemuda yang diduga sebagai pelaku penyerangan. Setelah dilumpuhkan dengan tembakan, polisi menyita dari tangan pemuda itu satu pucuk senjata organik jenis US Carabin, satu pucuk pistol rakitan, sembilan butir amunisi kaliber 9 mm, 2 magazine dan dua botol yang berisi bensin[37].

2 Oktober 2001, penyerangan bersenjata ke Desa Peleru, penyerangan itu terjadi pada dini hari oleh 500 orang dari arah Desa Korontuwu. Kelompok penyerang menggunakan senjata organik, senjata tajam dan melempari rumah-rumah warga dengan bom molotov. Akibat penyerangan ini, seorang warga meninggal dunia, puluhan warga mengakami luka-luka, 96 rumah warga dan sebuah Gereja dibakar oleh kelompok penyerang[38].

8 Oktober 2001, seorang anggota TNI berpangkat Brigadir Kepala (braka) menembak seorang warga asal Ampana. Penembakan terjadi di bus yang ditumpangi korban di Kelurahan Tagolu, korban mengalami luka tembak dikaki sebelah kanan. Tidak diketahui motif penembakan ini.

14 Oktober 2001, bus angkutan PO. Antariksa dari Tentena menuju Palu diberondong tembakan oleh sekelompok orang tak dikenal di Desa Maleali Kecamatan Sausu Kabupaten Domggala-150 Km dari arah timur Kota Palu. Akibatnya, seorang wanita pengungsi asal Silanca meninggal dunia. Tujuh korban luka, empat diantaranya adalah wanita mengalami luka dan dirawat di RSU Undata Palu.

Keesokan harinya, 15 Oktober 2001, sebuah truk dibakar oleh massa di Desa Silanca Kecamatan Lage. Truk tersebut milik PT. Dewi Mirna Surya dari arah Makassar menuju Ampana. Sopir dan seorang penumpangnya diselamatkan oleh TNI di Kompi 711 dan pos penjagaan TNI di Desa Toyado.

16 Oktober 2001, barak pengungsi di Kelurahan Madeale Poso Kota diserang oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. Penyerangan itu berlangsung pada pukul 04.00 Witeng dengan lemparan bom rakitan tiga kali yang diikuti dengan rentetan tembakan mengarah kebarak-barang pengungsi. Akibatnya seorang warga pengungsi meninggal dunia dan tiga lainnya menderita luka tembakan.

17 Oktober 2001, dua bus milik PO. Alugoro yang iring-iringan dari arah Luwu dihadang dan dibakar oleh massa di Desa Kamba Kecamatan Pamona Timur. Akibatnya dua bus beserta barang-barang penumpang hangus terbakar, sedangkan 52 penumpang beserta sopir dari dua bus itu berhasil menyelamatkan diri.

Keesokan harinya, 18 Oktober 2001, sekelompok orang tidak dikenal yang menggunakan tutup kepala di Kelurahan Kayamanya Poso Kota menghadang dan membakar bus PO.Primadona. Setelah berhasil menghentikan bus, pelaku melakukan sweeping identitas penumpang. Seorang warga, Rompa (34) asal Bungku Tengah meninggal dunia setelah dianiaya dan ditusuk benda tajam diperutnya. Sedangkan sembilan penumpang lainnya diselamatkan oleh polisi di Mapolres Poso yang hanya berjarak 300 meter dari tempat kejadian. Dihari yang sama, sebuah kapal motor yang mebawa 30 orang penumpang asal Maluku tujuan Poso ditemukan terdampar di Kecamatan Pagimana Kabupaten Banggai. Atas aksi penghadangan kendaraan umum yang marak terjadi di Poso, keesokan harinya, 19 Oktober 2001, Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Pol. Zainal Abidin Ishak mengeluarkan perintah tembak ditempat bagi pihak-pihak yang ingin memperkeruh situasi di Poso[39].

20 Oktober 2001, Poso jaga gabungan TNI/Polri di Desa Betalemba diserang oleh sekelompok orang bersenjata dari arah Desa Tabalu. Akibatnya, Bribda Ardiansyah, anggota Brimob Kompi A Polda Sulteng meninggal dunia dengan empat luka tembakan, Seorang Brimob dan dua anggota TNI mengalami luka-luka. Sedangkan dua pucuk senjata organik laras panjang milik Brimob di Pos itu hilang saat penyerangan[40].

Berselang 11 jam setelah penyerangan di Pos keamanan Betalemba, pada pukul 03.00 Witeng, (21 Oktober 2001) duapuluh empat warga muslim Poso yang dimotori oleh Laskar Jihad Ahlul Sunnah Waljamaah yang hendak menuju Desa Tabalu dihadang oleh Brimob di Desa Mapane Poso Pesisir. Truk yang ditumpangi warga ditahan dan semua penumpangnya diturunkan. Walaupun sempat melakukan perlawanan, warga akhirnya dilumpuhkan oleh Brimob yang jumlahnya lebih banyak dan menggunakan senjata tempur. Seorang warga, Ahmad Soetomo (17) meninggal dunia setelah mengalami pendarahan, dibagian dada sebelah kiri terdapat luka yang diduga tusukan benda tajam dan dada sebelah kanan robek. Keterangan dokter di RSU Undata Palu juga menyebutkan tulang rusuk sebelah kanan patah dan tulang lutut sebelah kiri korban remuk. Sedangkan penumpang lainnya yang umumnya laki-laki ditangkap dan ditahan di Polda Sulteng, Palu[41].

Dipagi hari, sekitar tiga ratus orang warga muslim yang umumnya wanita mendatangi Polres Poso, mereka menuntut warga yang ditangkap di Mapane segera dibebaskan. informasi beredar luas di masyarakat muslim Poso yang menyatakan Brimob telah melakukan penyiksaan saat melakukan menghadangan dan penangkapan warga di depan Pos Brimob Mapane. Hal ini kemudian menimbulkan kemarahan warga dan mendatangi Polres Poso.

Gagal membebaskan warga yang ditangkap, keesokan harinya, 22 Oktober 2001 ratusan warga muslim di Desa Mapane dan desa-desa lainnya di Poso Pesisir membakar puluhan pos penjagaan Brimob. Mereka juga mengecam tindakan brutal brimob yang menewaskan Ahmad Soetomo dan menuntut Brimob Polda Sulteng untuk segera di tarik dari Poso. Pembakaran pos-pos brimob di Poso pesisir meluas hingga Poso Kota, tidak hanya itu, warga juga melakukan sweeping setiap kendaraan yang melintasi jalur trans sulawesi di desa-desa Poso Pesisir. Akibatnya aktivitas perkantoran di Poso Kota lumpuh, demikian pula aktivitas perekonomian di pasar sentral Poso terlihat sepi.

26 Oktober 2001, terjadi penyerangan di Desa Pantangolemba Poso Pesisir. Akibatnya rumah-rumah warga dan sebuah gedung Gereja GKST rusak diberondong tembakan dan dibakar oleh sekelompok orang yang menggunakan penutup kepala. Kelompok penyerang itu dari arah Dusun Taunca dan Padanglembara menggunakan senjata organik[42]. Pos TNI yang ada di Desa itu tidak bisa berbuat banyak menghalau kelompok penyerang.

Pada 30 Oktober 2001 puluhan rumah warga dan satu Gereja dibakar. Penyerangan yang dilakukan oleh orang tidak dikenal pada siang hari juga mengakibatkan sebuah pos jaga TNI dibakar.

Sehari kemudian, 1 Nopember 2001 Desa Malitu Kecamatan Poso Pesisir diserang lebih dari 200 orang tidak dikenal. Kelompok penyerang menberondong rumah-rumah warga dan melepari bom rakitan. Penyerangan yang terjadi dimalam hari itu menyebabkan warga yang tertidur pulas berlarian keluar rumah. Hadede (47) warga Desa Malitu terkena tembakan dipaha sebelah kiri, kelompok penyerang juga membakar 140 rumah warga, balai desa, sebuah Gereja, sebuah bangunan sekolah TK dan sebuah rumah dinas guru. Hampir 1000 jiwa warga meninggalkan desanya dan mengungsi ke Desa Watuawu dan Desa Pandiri Kecamatan Lage[43].

7 Nopember 2001, sekitar 30 orang tidak dikenal menyerang dan membakar sebuah rumah warga di Kelurahan Kayamanya Poso Kota. Kelompok penyerang menggunakan senjata organik dan bom rakitan. Warga yang mengetahui adanya penyerangan langsung mengejar pelaku yang lari kearah gunung melewati sungai dibelakang SMA Neg 4 Poso.

Beberapa jam berselang, pada pukul 01.00 Witeng, 8 Nopember 2001 sekelompok orang yang tidak dikenal menyerang dengan memberondong tembakan kearah rumah-rumah warga di Kelurahan Sayo Poso Kota. Tembakan kelompok penyerang disambut dengan tembakan oleh warga yang saat itu melakukan jaga malam. Dengan lemparan bom molotov kelompok penyerang membakar sebuah barak pengungsi dan dua rumah warga di lorong Penembak dan lorong Sawerigading.

Pada 12 Nopember 2001 terjadi kontak senjata antara massa Islam dan massa Kristen di Jembatan II Poso, antara Kelurahan Kawua dan Kelurahan Ranononcu. Saat kontak senjata berlangsung terlihat tiga orang yang menggunakan seragam TNI di bukit ikut menembaki massa Islam. Setelah situasi meredah, ketiga orang tersebut meninggalkan tempat kejadian menuju arah Kecamatan Lage[44]. Kontak senjata berlangsung lima jam tanpa terlihat adanya usaha dari pihak keamanan (TNI/Polri) untuk menghentikan, padahal dari tempat kejadian hanya berjarak 1 Km dari Kompi B TNI 711 Raksatama di Kelurahan Kawua. Saat situsai mulai mereda pada pukul 12.15 Witeng, aparat gabungan TNI/Polri tiba dilokasi kejadian, namun korban sudah berjatuhan. Seorang anggota Laskar Jihad asal Solo, Abu Huzaifah meninggal dunia terkena tembakan dan lima orang dari dua pihak mengalami luka-luka.

24 Nopember 2001, Gereja Bethany di jalan Pulau Kalimantan Poso Kota dibom oleh orang tidak dikenal. Walaupun tidak menimbulkan korban jiwa tetapi bangunan tempat ibadah itu rusak terbakar.

27 Nopember 2001 penyerangan ke kampung-kampung Kristen oleh ribuan massa Islam dari arah Poso Kota, Lage dan Poso Pesisir. Di Tabalu Poso Pesisir massa menyerang dan dihadang dengan tembakan senjata oleh warga Kristen dan TNI di Pos Betalemba. Kontak senjata berlangsung dari pukul 06.00 – 17.00 Witeng mengakibatkan jatuhnya dua korban jiwa dari pihak Islam, Ustadz Abdullah[45] dan Masludin. Tewasnya Abdullah dalam penyerangan di Desa Tabalu tidak membuat nyali massa Islam surut, ribuan massa Islam terus menyerang perkampungan warga Kristen di Desa Patiwunga, Betalemba. Akibatnya, rumah-rumah warga, Gereja dibakar sebelumnya barang-barang berharga milik warga dijarah oleh kelompok penyerang. Dengan rentetan tembakan senjata organik dan ledakan bom rakitan ribuan warga Kristen yang umumnya perempuan, anak-anak dan lansia di Desa Tabalu, Patiwunga dan Betalemba mengungsi ke Napu Lore Utara, Desa Sangginora dan sebagian mengungsi ke Desa Sulawena[46].

28 Nopember 2001, penyerangan justru meluas ke arah Desa Tangkura. Warga Kristen yang laki-laki berusaha menghadang kelompok penyerang yang sudah menguasai Desa Betalemba sehari sebelumnya. Namun dengan kekuatan persenjataan dan jumlah massa yang tidak berimbang akhirnya pada sore hari Desa Tangkura dikuasai oleh Massa Islam yang jumlahnya terus bertambah. Anehnya, TNI yang berpos di Desa Tangkura justeru ditarik ke Poso Kota saat berlangsungnya penyerangan. Rumah-rumah warga, balai desa, sekolah dan bangunan Gereja di Desa Tangkura hangus dibakar massa penyerang, dua orang warga Desa tangkura dilaporkan tewas terpanggang api didalam rumahnya[47].

Keesokan harinya, 29 Nopember 2001, massa Islam yang berasal dari Poso Kota, Poso Pesisir dan Lage kembali menyerang Desa Dewua dan Sangginora. Rumah-rumah warga, balai desa, sekolah dan Gereja dibakar oleh massa penyerang. Warga di Desa Sangginora sempat melakukan perlawanan namun akhirnya juga terpukul mundur. Di Desa Padanglembara, sebuah perkampungan yang tergolong plural tidak luput dari sasaran massa penyerang. Rumah-rumah warga Kristen dibakar dan sebuah tempat ibadah warga trans asal Bali dihancurkan. Esoknya, 30 Nopember 2001 lebih dari 1000 jiwa warga hindu trans asal Bali diungsikan menuju Kecamatan Sausu Kabupaten Donggala

Ribuan massa Islam yang menyerang dalam tiga hari terakhir di perkampungan Kristen di Poso Pesisir ini menggunakan senjata rakitan, beberapa pucuk senjata organik dan puluhan bom rakitan diledakkan ke pemukiman warga hingga menyebabkan ribuan gelombang pengungsian warga Kristen ke Napu, Palu, Tentena, Sulewana dan Watuawu. Dari grafiti (tulisan-tulisan) di dinding-dinding rumah warga menunjukkan kelompok penyerang adalah gabungan dari Laskar Jihad Ahlul Sunnah Waljamaah, Mujahidin, Jundullah dan FSPUI Poso.

Usaha dari pihak keamanan (TNI/Polri) tidak terlihat untuk mencegah meluasnya penyerangan, hanya pada tanggal 30 Nopember 2001, pasca penyerangan di enam Desa, dua SSK Brimob dari Kelapa dua ditempatkan di pos-pos setiap Desa yang sudah sepi karena ditinggal oleh warganya mengungsi.

1 Desember 2001, massa Islam dari Poso Pesisir, Poso Kota, Lage dan Ampana yang dimotori oleh Laskar Jihad Ahlul Sunnah Waljamaah menyerang Desa Batugencu dari arah Desa Toyado dan Madale. Akibatnya lebih dari 100 rumah warga hangus dibakar. Walaupun sempat mendapat perlawanan bersenjata oleh warga Kristen yang ada di Desa Batugencu namun akhirnya terpukul mundur hingga Desa Sepe.

Hanya 30 menit sesudahnya, massa Islam berhasil menguasai Desa Batugencu dan akhirnya sasaran penyerangan meluas hingga ke Desa Sepe. Sekitar pukul 21.30 Witeng, sekitar lima ratus massa muslim dengan senjata organik, senjata rakitan, bom rakitan dan mobil tangki berisi bensin memasuki Desa Sepe. Saat lampu di Desa Sepe mati tiba-tiba serangan dilancarkan secara membabi buta dengan rentetan tembakan, dentuman bom rakitan bergema di antara rumah-rumah penduduk dan Gereja. Sebelum membakar rumah dan bangunan gereja, pos jaga TNI di perbatasan Desa Sepe dan Batugencu diberondong tembakan oleh kelompok penyerang, setelah membakar pos, massa penyerang menembak tiga anggota TNI yang berusaha menghalau.

Penembakan tiga anggota TNI di Pos jaga Desa Sepe memicu kemarahan sejumlah anggota TNI lainnya dari Kompi B 711 Raksatama. pada 2 Desember 2001 sekitar dua puluh anggota TNI 711 Raksatama dengan menggunakan truk menculik delapan warga Desa Toyado yang saat itu berjaga menjelang sahur. Delapan orang warga desa Toyado yang diculik anggota TNI dikatahui enam orang diantaranya adalah Syuaib Lamarati (16), Hasyim Toana (50), Awal (20), Latif (25), Imran La Curu (32) dan Riyadi ditemukan sudah tidak bernyawa lagi dengan kondisi tubuh mengenaskan, dibagian tubuh setiap korban terdapat luka bacokan dengan kondisi tangan terikat. Sedangkan dua diantaranya masing-masing Saharuddin alias Kede (26) dan Iwan (18) dapat meloloskan diri dengan selamat.

Dengan lolosnya dua orang korban tersebut, akhirnya memudahkan pihak penyidik untuk mengungkap siapa-siapa anggota TNI yang diduga terlibat dalam kasus penculikan itu[48].

3 Desember 2001, lebih seratus warga muslim menduduki markas Kodim 1307 Poso. Mereka menuntut dua anggota TNI yang bernama Lukas dan Tuledeng segera diberi sanksi karena diduga sebagai pelaku penculikan delapan warga Desa Toyado. Namun pada pukul 12.30 witeng sebuah bom meledak di sebuah Gereja yang berseberangan dengan Markas Kodim. Aparat TNI yang sebelumnya bersitegang dengan massa terprovokasi dengan menembak kearah massa. Akibatnya, seorang warga asal Kelurahan Lawanga, Syarifuddin tewas tertembak dibagian kepala dan tiga warga lainnya mengalami luka-luka akibat terkena percikan bom.

5 Desember 2001, salah satu mayat korban penculikan di Desa Toyado, Suaib Lamarati (15) ditemukan terapung di sungai Poso oleh warga. Saat ditemukan, mayat korban terbungkus dengan karung plastic berisi pasir, ditubuh korban terdapat luka bacokan, terdapat luka dibagian muka dan kepala terputus dari badan. Penemuan mayat korban membuat sitausi di Poso tegang, ratusan orang mengusung mayat itu ke Markas Kodim. Selain itu, Perwakilan Komnas HAM yang dipimpin oleh BN Marbun dengan anggota Mayjen TNI (Prun) Soegiri dan Andi N. Nurusman yang saat itu melakukan pertemuan dengan Ummat muslim di Gedung Wanita Poso juga diperlihatkan jenasah korban. Selanjutnya iring-iringan massa yang membawa jenasah Suaib Lamarati dibawa ke RSU Poso untuk otopsi, selanjutnya diantar ke perkuburan umum Lawanga untuk dimamkan. Sementara 5 warga lainnya yang menjadi korban penculikan belum juga ditemukan.

Pada 19 Desember 2001, delapan warga Dusun Buyung Katedo Desa Sepe diserang oleh orang tidak dikenal saat memetik buah coklat (kakao) dikebunnya. Tidak terjadi korban jiwa karena kedelapan warga itu berhasil menyelamatkan diri. Kasus penyerangan ini mengakhiri letupan-letupan yang menimpa warga Poso menjelang ditandatanganinya Deklarasi Malino I untuk Poso.

Kelombang kedatangan Laskar Jihad ke Poso telah membuat pihak Kristen di Sulawesi gerah. Pada kongres Masyarakat Kristen di Minahasa diserukan kepada laskar Manguni dan Laskar Kristus yang berpusat di Manado Sulawesi Utara untuk segera datang ke Poso membantu warga Kristen untuk menghadapi Laskar Jihad[49]

Sementara, menanggapi meningkatnya eskalasi penyerangan kekampung-kampung warga Kristen, Uskup Manado Mgr Yosephus Suwatan MSC mengeluarkan seruan sangat darurat – SOS (Save Our Soul: Selamatkan Jiwa Kami) bagi masyarakat Poso karena telah mengarah kepada pembasmian warga Kristen yang dilakukan oleh Laskar Jihad[50]

Saat itu, Suwatan mengaku kalau dirinya telah menerima surat tembusan dari kelompok masyarakat yang menamakan diri Masyarakat Kristen Kabupaten Poso (MKKP). Kelompok ini telah mengirim surat kepada Sekjend PBB Koffi Annan. Salah satu isinya adalah ketidakmampuan aparat keamanan (TNI/Polri) mengendalikan keamanan masyarakat sehingga kendali keamanan dipegang oleh Laskar jihad. Dalam seruan itu meminta kepada PBB agar mengusur Laskar Jihad dari Tanah Poso.


[1] Lihat Sinansari ecip, Rusuh Poso Rujuk Malino, Penerbit Cahaya Timur, Juli 2002. Lihat juga Tahmidy Lasahido, dkk, SUARA dari POSO, Kerusuhan, Konflik dan Resolusi, (YAPIKKA, Jakarta, 2003). Dibuku ini episode kekerasan digambarkan pada Bagian I.

[2] Haris Azhar, Masyarakat Poso: Diantara Permusuhan dan Harapan Perdamaian dalam ____ (ed.) Negara Adalah Kita (Praxis: Jakarta, 2006) _____ , lihat juga Haris Azhar dan Syamsul Alam Agus, Poso Wilayah yang Dikonflikan____

[3] Database Monitoring Tindak Kekerasan Poso 1998-2005, LPSHAM Sulteng, Program kerjasama LPSHAM-KontraS (2004).

[4] Tahmidy Lasahido, Op. Cit. hal 40-41.

[5] Laporan perkembangan Konflik Sosial Poso oleh Bupati Poso Tanggal, 7 Agustus 2001

[6] Harian Mercusuar, Palu 15 April 2000. Database Monitoring Tindak Kekerasan Poso 1998-2005, LPSHAM Sulteng, Program kerjasama LPSHAM-KontraS (2004).

Sinansari Ecip, Rusuh Poso Rujuk Malino, Penerbit Cahaya Timur, Juli 2002.

[7] Serial konflik Poso … Tim peneliti Universitas Tadulako.

[8] Rinaldy Damanik, Tragedi Kemanusiaan Poso, Menggapai Surya Pagi Melalui Kegelapan Malam, cetakan ke dua, 2003

[9] Soal jumlah korban memang simpang siur, banyak versi mengenai data korban dan kerugian diantaranya bisa dilihat di Database Monitoring Tindak Kekerasan Poso 1998-2005, LPSHAM Sulteng, Program kerjasama LPSHAM-KontraS (2004), Laporan Coen Hussein Pontoh “dari sintuwumaroso kesintuwu malonco”, Serial Konflik Poso…. Tim Peneliti Universitas Tadulako, Tim Peneliti Yayasan Bina Warga Sulawesi Tengah,

[10] Didalam penulisan Bab ini, pelebelan “Kelompok Merah dan Putih” tidak digunakan.

[11] S.Sinansari Ecip dan Darwis Waru, Kerusuhan Poso yang Sebenarnya, PT. Global Mahardika, Jakarta; 2001.

[12] ibid

[13] Coen Huseein Pontoh “Dari Sintuwu Maroso ke Sintuwu Malonco”

[14] Dum-dum adalah jenis senjata rakitan yang menggunkan amunisi dari potongan besi, paku. Di Palopo Sulsel, jenis senjata ini dikenal dengan sebutan papporo.

[15] Serial Konflik Poso, Tim Peneliti Universitas Tadulako

[16] Serial Konflik Poso, ibid

[17] Sinansari Ecip dan Darwis Waru, Konflik Poso yang Sebenarnya

[18] Haris Azhar, Masyarakat Poso: Diantara Permusuhan dan Harapan Perdamaian dalam ____ (ed.) Negara Adalah Kita (Praxis: Jakarta, 2006) _____

[19] Kompas Cyber Media, 4-6 Juni 2000

[20] Selanjutnya oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah didakwa telah melakukan tindak pidana “Pembunuhan Berencana, Pembakaran dan Penganiayaan yang dilakukan secara berlanjut” pada bulan Maret hingga Juli 2000 di Kelurahan Moengko Baru dan Kayamanya Kecamatan Poso Kota, Mesjid Al-Hidjrah dan Pesantren Walisongo Desa Sintuwulemba, Lorong Puskesmas Desa Tagolu dan di Penambangan Pasir Tepi Sungai Poso Desa Tagolu Kecamatan Lage. Bahwa perbuatan berupa Pembunuhan, Pembakaran, Penculikan, Penganiayaan pada dasarnya dilakukan oleh kedua belah pihak yang bertikai (kristen-islam), Permohonan GRASI ketiga Terpidana Mati, Tim Pembela Hak Asasi Manusia (TP-HAM), 2005

[21] Laporan perkembangan Konflik Sosial Poso oleh Bupati Poso Tanggal, 7 Agustus 2001

[22] Mercusuar, 9 Februari 2001

[23] SKM Al Khairaat, Edisi 29, Maret 2001

[24] Harian Surya, 19 April 2001

[25] I Wayan Sumiarse ditemukan telah menjadi mayat enam hari kemudian oleh seorang pemancing ikan, Masukar (53); Kompas Cyber Media, 8 Juni 2000

[26] Mercusuar, 12 Juni 2001

[27] Mercusuar, 21 Juni 2001

[28] Mercusuar, 3 Juli 2001

[29] Mercusuar, 7 Juli 2001

[30] Ayib Syarifuddin adalah mantan Komandan Laskar Jihad di Ambon dan Maluku Utara.

[31] LPSHAM Sulteng, Poso News, 21 Agustus 2001

[32] Postur operasi keamanan ini dibagi menjadi sektor yang dipimpin oleh seorang perwira menengah kepolisian Daerah Sulteng

[33] Pelebelan kelompok bertikai di Poso, “Kelompok Merah” merupakan label bagi Warga Kristen dan “Kelompok Putih” adalah Warga Islam; dalam penyusunan kronologis ini tidak menggunakan pelebelan “Merah atau Putih”.

[34] Mercusuar, 16 Agustus 2001

[35] Harian Surya, 5 September 2001

[36] Crisis Center GKST, 2001

[37] Harian Surya, 21 september 2001

[38] Suara Pembaruan, 4 Oktober 2001

[39] Mercusuar, 20 Oktober 2001

[40] LPSHAM Sulteng, Poso News, 20 Oktober 2001

[41] Siaran Pers yang dikeluarkan oleh DPW Forum Komunikasi Ahlullsunnah Wal Jama'ah Sulteng (FKAWJ) di Palu, 21 Oktober 2001 mengakui bahwa tewasnya Ahmad Sutomo (17) terjadi di mapane pada pukul. 03.00 Wita setelah dihalau oleh satuan Brimob Sulteng yang berpos di Mapane.

[42] LPSHAM Sulteng, “Negara Melakukan Pembiaran”, Pandangan Akhir Tahun 2001

[43] LPSHAM Sulteng, Poso News, 1 Nopember 2001

[44] Rinaldy Damanik, Tragedi Kemanusiaan Poso, Menggapai Surya Pagi Melalui Kegelapan Malam, cetakan ke-dua, 2003

[45] Ustadz Abdullah adalah Laskar Jihad Asal Ambon yang bergabung dengan warga dari Parigi memberi bantuan ke Poso.

[46] LPSHAM Sulteng, “Negara Melakukan Pembiaran”, Pandangan Akhir Tahun 2001

[47] LPSHAM Sulteng, “Negara Melakukan Pembiaran”, Pandangan Akhir Tahun 2001

[48] Den POM/VII2- Palu, Mayor CPM Wempi Hapan Eng, Msc mengatakan pihaknya telah menetapkan 10 oknum anggota TNI dari Kompi B Poso sebagai tersangka kasus penculikan warga sipil di Desa Toyado, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso yang terjadi pada bulan Desember 2001 lalu. Kesepeuluh anggota TNI tersebut dua diantaranya berpangkat Perwira Pertama (Pama) dan delapan lainnya berpangkat Tamtama, LPSHAM Sulteng, Poso News, 2002

[49] Lihat Laporan IDPS Netherland, op.cit

[50] idem