Monday, April 30, 2007

Profil Muhammad Basri alias Bagong

Dendam Pemusik Bermata Elang

Umurnya masih muda, 32 tahun. Badannya kekar dihiasi tatto di sejumlah bagian. Rambutnya ikal. Tatapannya tajam, juga garang bagai elang.

Suatu siang, Jumat awal Februari 2007, di sebuah ruangan di markas Polda Sulawesi Tengah, lelaki muda itu duduk dikelilingi polisi, serta wartawan. Kepada wartawan, juga polisi yang mendengar, lelaki muda itu bercerita panjang: Tentang sepak terjangnya, hingga dia, hari itu berada di markas polisi dengan status: Tersangka! Meski meneriakan takbir ”Allahu Akbar”, toh lelaki itu kehilangan kegarangan saat bercerita tentang keluarga yang terbantainya saat kerusuhan Poso, tahun 2000 silam.

Ia menangis, lalu menghilangkan airmatanya dengan tanganya yang bertato. Lelaki muda itu adalah Basri. Ia juga akrab dipanggil Bagong. Ia buronan nomor satu polisi. Tak tanggung-tanggung, 17 kasus kekerasan terorisme dituduhkan kepada Bagong. Mulai dari pengeboman di Poso dan Palu, juga serangkaian penembakan misterius disangka kepada lelaki yang masa remajanya dihabiskan bermain musik di sebuah grup band di Poso itu.

Tapi, Basri licin, bagai belut. Berungkali ia lolos dari sergapan polisi bertitel detasemen khusus, juga brigade mobil. Hingga suatu pagi, Kamis awal Februari 2007, pelarian Basri berakhir di Kelurahan Kayamanya, Poso. Luka tembak di bagian perut akibat pertempuran panjang dengan polisi selama delapan jam lebih, tanggal 22 Januari 2007, membuatnya tak lagi lincah. Keberaniannya pun lenyap. Ia ditangkap dengan mudah.

Tapi, toh, ia tetap menjadi legenda, juga ikon bagi sejumlah kalangan di Poso. Meski jalan yang dipilihnya, dianggap keliru, Ia menjadi simbol pembalasan dendam ratusan warga yang tewas saat kerusuhan Poso. Ia juga menjadi simbol perlawanan terhadap polisi. Siapa sesungguhnya Basri yang diakui memiliki keahlian menembak jitu? Basri lahir 32 tahun yang lalu.

Orang tuanya lupa tanggal dan bulan kelahirannya. Yang mereka tahu Basri lahir sekitar tahun 1975. Ia pernah mengenyam pendidikan formal hanya sampai kelas 3 SMPN I Poso, namun tidak sempat tamat. "Dia memilih berhenti sekolah saat kelas 3 SMP, demi mengutamakan empat adiknya, agar bisa sekolah," kenang Satinem alias Mbak Sabruk (53), ibu kandung Basri. Mbak Sabruk menuturkan Basri adalah anak yang hormat dan patuh kepada orang tua.

Dia juga dikenal sebagai anak yang suka menolong orang lain. "Anak saya itu nggak pernah macem-macem. Tiap hari kerjanya di kebun, membantu bapaknya ngerawat tanaman. Ia juga suka tanam sayur. Kalau tiba waktu panen, saya yang jual dipasar," tutur Mbak Sabruk yang sehari-harinya berjualan sayuran di Pasar Sentral Poso. Kata ibunya, dari bekerja membantu orang tua di kebun, Basri selalu memperoleh setengah dari hasil kebun yang dikerjakan bersama itu. "Kalau dia panen, saya yang yang jual. Hasilnya kami bagi dua,” kisah ibunya lagi.

Nenek tujuh cucu ini juga bercerita soal masa kecil Basri. Kata dia, seperti anak-anak kecil seusianya saat itu, Basri terlihat biasa. Suka bermain dan bersendau gurau. Basri juga dikenal sebagai anak yang kalem dan pendiam. Yang lebih menonjol di antara rekannya, Basri suka menolong temannya yang susah.

Basri remaja tak melulu mengahbiskan waktunya di kebun. Ia juga bermain musik. Bersama-temannya di Kayamanya, mereka mendirikan grup band. Basri menjadi drumer, sementara Amril Nggiode alias Aat, temannya yang juga menjadi DPO polisi, menjadi gitaris. Vokalis mereka bernama Hnedrik. Grup band ini memilih jalur rock sebagai pilihan bermusik. Mereka senang menyanyikan lagu-lagu Genesis, Grup band asal Inggris. Kesenangannya bermusik, namun juga senang berkebun, membuat banyak yang tak percaya, Basri terlibat serangkaian kekerasan terorisme di Poso.

Mbak Sabruk, ibunya, kaget jika Basri sampai memiliki banyak senjata api dan peluru-peluru serta disebut-sebut sebagai pimpinan kelompok bersenjata di Poso. Ia juga heran tatkala anaknya ditetapkan sebagai DPO nomor satu Mabes Polri.

Pengakuan ibu kandungnya ini, dibenarkan oleh Sriyani (30). Adik kandung Basri. "Kakak Saya itu pendiam, dan rajin membantu bapak sama mama di kebun. Saya tidak percaya mendengar bahwa kakak saya itu, berbuat jahat dan macem-macam. Keluarga tahu Basri ditetapkan sebagai DPO dari televisi," ungkap Sriyani. Namun, sejak menikah tahun 2000, kiprah Basri tak selalu terekam dalam catatan keluarganya, jejaknya tak terbaca.

Keluarga tidak tahu menahu apa aktivitas Basri selama ini. Sriyani mengaku tidak tahu persis, termasuk kalau Basri diduga berbuat kriminal. "Sejak menikah tahun 2000 silam, Basri tinggal bersama mertuanya di Jalan Pulau Jawa I. Yang kami tahu dia hanya bekerja di kebun, dan rajin sholat. Soal yang lain, kami tidak tahu.

Tapi, kami tetap tidak percaya kalau Basri terlibat dalam kriminal," aku Mbah Sabruk Basri memiliki dua anak dari pernikahannya dengan dengan Sunarni. Anak-anaknya, Annurul Fitra (5) dan Safiana Jedda (2) tentu saja tidak tahu menahu bagaimana kabar ayah mereka kini. Yang mereka tahu, ayahnya pergi bekerja di Palu.

Soal dari mana basri mendapatkan senjatanya, ada cerita lain yang menarik. Pimpinan Pesantren Amanah, Ustadz Adnan Arsyal menyampaikan sebuah cerita bahwa Basri sendiri yang membeli senjata api dan amunisinya. “Ia menjual kebunnya untuk membeli senjata dan amunisi. Katanya ia ingin membalas dendam karena puluhan keluarganya tewas dibantai pada kerusuhan 2000 silam,” tutur Ustadz Adnan. Soal keluarga Basri yang tewas saat kerusuhan, Mbak Sabruk punya cerita lain juga. Katanya hitungan Basri terlalu kecil.

Jika Basri mengakui sekitar 26 keluarganya dibantai di Pesantren Walisongo, maka Mbak Sabruk menyatakannya lebih dari yang disebutkan Basri. Saat ini Basri menjalani pemeriksaan intensif di Mabes Polri, Jakarta. Basri pun sudah mengakui sejumlah aksi-aksi kekerasan yang dilakukannya. Di antaranya, penembakan Pendeta Susianti Tinulele di Palu pada 2003, lalu mutilasi atas tiga siswi SMU Kristen GKST di Poso, November 2005 dan penembakan atas Ivon Natalie dan Sitti Nurain di Poso tahun 2005 lalu. Keluarganya hanya bisa berpasrah diri.

Mbak Sabruk meminta agar Polisi memperlakukan anaknya secara manusiawi. "Anakku sudah dituduh macem-macem. Tapi saya minta dia diperlakukan manusiawi, karena pengadilan yang akan menentukan benar atau tidaknya kasus yang dituduhkan," pinta Satinem. Selain itu, polisi juga diminta bersikap adil dalam penegakan hukum. "Jangan cuma umat Islam yang diuber-uber. Kenapa 16 nama yang disebut Tibo tidak di proses, pembantaian Buyung Katedo tidak ditangani. Sebagai orang kecil saya hanya percaya kita semua akan mati. Di sanalah kita akan bertanggung jawab," ujarnya.

Yang menarik, Ibu Basri dan keluarganya yang lain menolak menerima bantuan Polisi seperti yang sudah dijanjikan bagi korban operasi penegakan hokum 11 dan 22 Januari lalu. "Biar saya ini miskin, bantuan apapun yang akan diberi pemerintah maupun polisi terhadap kami, saya tidak mau menerima," tegas Satinem, ibu kandung Basri, yang ditemui di kediamannya di Kelurahan Tegalrejo, Poso Kota. "Kalau kami terima, berarti sama dengan menukar dua nyawa adik saya yang tewas ditembak polisi," sambung Sriyani, adik kandung Basri.

Mbak Sabruk mengaku sangat terpukul dengan peristiwa yang mereka alami. Bukan hanya tuduhan polisi terhadap Basri-anak pertamanya, yang membuat nenek tujuh cucu ini terpukul, tapi, kematian dua adik Basri, Udin dan Totok, pada peristiwa baku operasi penyisiran DPO Senin (22/1/2007) lalu. " Adikku, Udin, kan kurus. Dia ditangkap hidup-hidup dan tanpa luka tembak. Tapi saat pulang dari Polda sudah jadi mayat. Badannya-pun berubah jadi gemuk karena lebam dengan hasil penganiayaan. Hidungnya remuk. Dan kepalanya lembek seperti semangka yang baru jatuh," terang Sriyani, sembari menceritakan pula kondisi mayat Totok yang tak kurang tragisnya.

Kini lelaki muda bermata elang itu, tak lagi bisa terbang. Kepaknya sayapnya telah digari. Hari-hari terakhir ini ia mesti menjalani peradilan tehadap dosa yang dituduhkan padanya. Ia juga mesti menjalani sisa hidupnya dengan penyesalan. Pilihan membalas dendam bagi semua keluarganya yang tewas saat konflik Poso bergelora, ternyata, bagi dia, bukan pilihan yang tepat.

Nyawa berbalas nyawa, bukalanh solusi apik bagi penyelesaian konflik.

Dari balik bilik penjara, Sang Elang pun mengimbau teman-temanya seperjuagannya, yang juga di-DPO-kan polisi segera menyerah. Sebuah imbauan apik di ujung kesadaran, juga sebuah sinyal menuju perdamaian sejati di Poso. *****

Laporan ini dibuat atas kerjasama AJI Kota Palu dan Yayasan TIFA, Februari – Maret 2007