Monday, April 30, 2007

Penyerahan Diri Sang DPO

Episode Baru Sang Buronan

Suatu ketika, di ujung malam, Jumat awal Februari 2007. Suasana hening. Bau tanah berhembus di sela-sela embun bekas hujan. Sebagian besar warga Kelurahan Bonesompe, kecamatan Poso Kota, terlelap dalam tidur.

Tiba-tiba, keheningan pecah di sebuah rumah di Jalan Agus Salim, belakang Mesjid An Nur. Pintu depan rumah milik Asrul Sani alias Papa Aci digedor-gedor seorang perempuan setengah baya. Di belakangnya, seorang laki-laki dan seorang perempuan menunggu reaksi pemilik rumah.

Gedoran perempuan tadi membangunkan seisi rumah. Usai menguasai kekagetannya, Papa Aci pun membuka pintu, menemui perempuan dan lelaki di depan pintu rumahnya. Percakapan terjadi.

Sang perempuan-kelak diketahui ia akrab disapa Mama Aat-bertanya,” Apakah ada wartawan yang tinggal di rumah Papa Aci?” Usai mendapat jawaban jelas, Mama Aat kemudian meminta izin untuk dipertemukan dengan sang wartawan.

Tak lama berselang, di ruang tamu rumah Papa Aci pun, tergelar pertemuan. Mama Aat, Alex, lelaki yang sejak awal menemaninya duduk dikursi tamu bersama Bidan Is, di kursi yang lain, Syamsuddin, koresponden SCTV wilayah Sulawesi Tengah, duduk dengan wajah menahan kantuk, akibat tidur yang tak kelar.

Kepada Syam, panggilan akrab Syamsuddin, Mama Aat mempernalkan diri, dan dengan setengah berbisik, mengutarakan maksudnya hendak,” menyerahkan anaknya, Aat kepada polisi.” Mama Aat meminta Syamsuddin memediasi penyerahan diri ini. Aat adalah panggilan akrab Amril Ngiode, salah satu dari 29 DPO Mabes Polri. Aat diduga terlibat dalam serangkaian kekerasan bersenjata di Poso, Tentena juga Palu, pasca perundingan Damai Konflik Poso di Malino, Desember 2001.

Kontan rasa kantuk Syam hilang, tapi kebingungan datang menyergapnya. Sejumlah pertanyaan menyerbu benaknya. Mengapa ia yang dipilih memediasi penyerahan diri ini? Apa yang harus ia lakukan? Belum lagi pertanyaan-pertanyaan ini terjawab, waktu berputar terus hingga ketika ia menengok jam di dinding rumah, waktu telah menunjukkan pukul 02.30 dini hari.

Ia harus bertindak cepat. Sempat terlintas dibenaknya, Ia dipercaya karena ia bekerja dengan baik selama meliput di Poso. Tanpa ragu, ia pun memilih mempartahankan kepercayaan warga kepadanya, ketimbang memikirkan banyak pertanyaan di kepalanya yang tak menemukan jawaban.

Setelah bersalin rupa tak lama, Syam bersama rombongan Mama Aat telah terlihat membelah malam. Dengan mobil miliknya, Syam membawa rombongan Mama Aat.

Tujuan pertama mereka ke Jalan Pattimura. Di jalan ini, tinggal Amir Ma’ruf alias Upik Nyong, kamerawan RCTI Sulawesi Tengah.

“Ada apa?” tanya Upik pada Syam, sesaat setelah membuka pintu rumahnya.

“Ada keluarga DPO yang mau menyerahkan anaknya. Mereka meminta wartawan memediasinya,” jawab Syam, setengah berbisik. Mama Aat dan rombongan menunggu di mobil Syam.

Upik pun bergegas bersalin rupa. Tak lama kemudian, mereka terlihat bersama menuju rumah jabatan Kapolres Poso AKBP Rudy Sufahriady, dengan mobil Syam. Rumah jabatan Kapolres terletak di Jalan Ade Irma Suryani, Kelurahan Bonesompe.

Di rumah jabatan ini, Syam, Upik dan Mama Aat tertahan di pos penjagaan halaman depan sebelah kanan rumah. Dua polisi yang berpiket mencegat mereka. Syam mengutarakan niat bertemu polisi. Di dinding, jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Sang piket tak mengizinkan Syam dan rombongan.

Syam tak kehilangan akal. Ia minta dipertemukan Brigadir Sahar, ajuduan Kapolres. Syam kenal dekat Sahar. Mereka sama-sama suku Bugis. Piket kemudian memanggil Sahar.

Saat bertemu, Syam berbisik kepada Sahar, “Ada DPO yang mau menyerahkan diri. Saya diminta memediasinya. Saya ingin bertemu langsung pak Kapolres.” Mendegar informasi sepenting ini, meski dini hari, Sahar pun segera menuju kamar Kapolres dan membangunkan mantan Wakil Kepala Satuan Gegana Korps Brimob Mabes Polri.

Kepada atasannya, Sahar menceritakan kedatangan Syam dan maksud mereka. Di luar Syam dan Mama Aat serta Upik menunggu dalam kecemasan dan harapan. Bersyukur, Kapolres menyambut mereka.

Tanpa hambatan, pertemuan segera digelar. Tujuan Syam dan Mama Aat mendapat sambutan. Ditemani Kapolres, Syam dan rombongan pun menuju Wisma Tinombala, di Jalan Pattimura, Bonesompe. Di tempat ini, Kapolda Sulteng, Brigjen Badrodin Haiti menginap, pasca pertempuran Tanah Runtuh.

Tanpa kesulitan, Syam dan rombongan bertemu dengan Jenderal Badrodin. Seperti Rudy, Badrodin pun antusias menyambut keinginan Aat yang disampaikan ibunya dan Syam. Badrodin menyatakan terserah Aat mau menyerahkan diri kapan saja. “Saya menjamin ia takkan diapa-apakan. Saya akan melindunginya,” tandas Kapolda. Syam senang. Begitu juga Mama Aat.

Tak lama berselang Syam dan rombongan meminta diri. Mereka hendak mempersiapkan proses penyerahan diri. Waktu penyerahan diri disepakati Jumat pagi, tanggal 2 Februari 2007, antara pukul 08.00 hingga pukul 10.00 WITA.

***

Jumat pagi, sekitar pukul 08.00 WITA, kesibukan terlihat di sebuah rumah di Jalan Agus Salim, Kelurahan Bonesompe, tak jauh dari Penginapan Bambu Jaya serta Kantor Kelarahan Bonesompe. Di rumah ini, tinggal Mama Aat dan keluarganya.

Bukannya hendak berpesta, kesibukan di rumah ini, karena segenap orang yang hadir hendak mengantarkan Aat menyerahkan diri. Selain handai tolan dan wartawan, terlihat juga dua orang anggota DPRD Poso. Sementara Aat, tokoh utama skenario penyerahan diri ini tak terlihat. Tapi, Aat tak kemana-mana. Ia rupanya sedang berhias diri untuk sebuah episode baru dalam hidupnya. Ia memangkas rambut, dan menjelma menjadi pemuda rapi berwajah baik. Tak tampak dari wajahnya, ia punya rekor buruk soal kemanusiaan, setidaknya menurut catatan kepolisian.

Waktu pun berputar. Saat penting, juga genting itu kian dekat. Sekitar pukul 08.30 pagi, di Jalan Agus Salim terlihat iring-iringan dua mobil menyusuri jalan berlobang. Di mobil depan, mobil milik Syamsuddin, terlihat sejumlah penumpang, selain wartawan juga keluarga Aat.

Di belakang mereka, di mobil milik seorang anggota DPRD Poso, selain sang legislator, juga terlihat Aat. Ia duduk di bagian tengah mobil. Sedikit ketegangan terlihat di wajah putihnya. Tapi, tak tampak ia menyurutkan langkah. Tekadnya telah bulat. Ia harus menyerahkan diri.

Seperti sejumlah DPO yang lain, penyerahan diri adalah solusi apik bagi Aat. Hidup dalam pengejaran polisi juga bagaikan hidup dalam bui. Bedanya, di luar, dengan buronan polisi, ia lelah berlari. Energinya juga seret, pasca pertempuran 22 Januari. Dalam pertempuran itu, Aat memang terlibat. Bersama kawan-kawannya, mereka melawan polisi, dengan senjata api otomatis. Tapi, mereka kalah. Sejumlah kawan-kawannya berkalang tanah tertembus pelor polisi. Sejumlah yang lain tertangkap.

20 menit berjalan dari Bonesompe, terlihat iring-iringan mobil yang ditumpangi Aat melintas di Jalan Patimura. Mereka menuju Wisma Tinombala. Di tempat ini, Jenderal Badroddin, dengan senyum khas di bawah misainya, telah menanti dengan selusin polisi bersenjata lengkap.

Sejurus kemudian, iring-iringan mobil Aat dan rombongannya, berhenti tepat di depan wisma yang menjadi mess perwira polda itu. Di teras, jenderal Badroddin duduk dengan senyum, menghilangkan keseraman uniform jenderalnya.

Rombongan Aat pun turun dari mobil. Melintasi sejumlah brimob berwajah garang dengan senjata, di teras wisma, mereka pun diterima Kapolda dengan jabatan tangan hangat. Aat kemudian duduk disamping Badroddin. Mereka saling senyum dan lempar ucapan. Tak lama berselang Kapolres Poso AKBP Rudi Sufahriady juga datang ke tempat itu. Karena telah mengetahui rencana penyerahan diri Aat.

Walau dengan dibarengi isak tangis sang ibu, Aat tampak terlihat santai dengan mengumbar sedikit senyuman. Proses penyerahan pun berlangsung ringkas dan lancar. Sejurus kemudian Aat digiring masuk ke dalam wisma. Ia pun melalui episode baru sebagai tersangka, setelah lama berlari dalam status DPO. Skenario penyerahan diri Aat pun ditutup dengan senyum.

Di luar wisma, di mobil birunya. Syam juga tersenyum. Ia baru saja melalui sebuah pengalaman unik dan membanggakan dalam karir jurnalistik. Ia semakin yakin dengan profesinya: bahwa tak hanya meliput, wartawan dapat berperan untuk sebuah penyelesaian konflik tanpa darah dan airmata.***


Laporan ini dibuat atas kerjasama AJI Kota Palu dan Yayasan TIFA, Februari – Maret 2007