Monday, April 30, 2007

Profil Anak Bebek

Anak bebek: Kaderisasi ala DPO Poso

Pengakuan Tugiran, sungguh mengejutkan banyak pihak. Tugiran salah seorang pentolan daftar pencarian orang dalam sejumlah kasus kekerasan di wilayah Poso mengakui telah melakukan pembinaan dikalangan anak muda Poso yang kemudian kelak menjadi anak buahnya.

Tugiran melakukan rekruitmen terhadap sejumlah anak muda poso yang berusia 15 sampai 17 tahun untuk dididik menjadi anak muda yang benci terhadap orang Kristen yang dianggap melakukan pembunuhan terhadap ribuan warga muslim Poso. Pria bertubuh kekar dan menjadi orang kepercayaan Basri ini menamai kelompok itu bernama pasukan anak bebek. Komandannya Tugiran sendiri.

Sebutan pasukan anak bebek itu sendiri tidak mempunyai arti yang spesifik. Warga Poso yang ditemui, termasuk pasukan anak bebek itu sendiri tak bisa memberikan penjelasan soal penamaan pasukan anak bebek itu. Seorang warga Poso yang sangat dekat dengan kalangan DPO mengatakan, sebutan pasukan anak bebek karena kelompok ini gampang diarahkan seperti galibnya Bebek yang gampang dihalau dan arahkan.

Pola rekruitmennya juga terbuka. Tidak terikat seperti kelompok Basri Cs yang harus menyetor sejumlah dana untuk perjuangan. Siapa saja boleh bergabung dalam kelompok ini. Karena itu tak heran banyak sekali anak sekolah setingkat SMU bdergabung dalam kelompok anak bebek.

Tapi kiprahnya dalam perlawanan polisi pada tragedi 22 Januari sungguh menakjubkan. Lihat saja, Aprianto (21), salah seorang anak bebek, sudah siap mengambil resiko apapun. Pria layang alumni salah satu pesantren di Jombang, Jawa Timur. Baru tujuh bulan lalu ia kembali ke Poso, dan mendapat tugas dari pembimbingnya untuk membina pengajian ibu-ibu di Ampana, Ibukota Kabupaten Tojo Una-Una (kabupaten pemekaran Poso).

Aprianto balik ke Poso Kota, dua hari sebelum terjadi aksi baku tembak antara polisi dan warga sipil tanggal 22 Januari lalu itu. Di hadapan ayahnya, Yasin Kasim, Aprianto siap mengorbankan nyawanya sekalipun karena ia mengannggap umat Islam di Gebang Rejo itu sudah terraniaya, sehingga wajib bagi umat Islam lainnya untuk membantu. Dua peristiwa sebelumnya dialami warga gebang Rejo sebagai bentuk pernistaan. Aprianto menganggap sebagai bentuk pendzaliman.

Pada dua peristiwa itu, beberapa warga sipil tewas tertembak, termasuk pegawai rumah sakit Poso yang hendak mengevakuasi korban pun dipukul oleh anggota polisi yang bertugas saat itu. Bahkan seorang balita pun kena tembak keesokan hari karena kena peluru nyasar aparat keamanan.

Nah, saat tanggal 22 Januari, polisi melakukan operasi di Kelurahan Gebang Rejo, suara tembakan sahut menyahut di kawasan Tanah Runtuh. Begitu juga dengan ledakan bom rakitan membahana di seantero langit Poso di pagi itu.

Aprianto kemudian berpamitan dengan ayah dan ibunya untuk ikut membantu warga Islam di Gebang Rejo itu. Kepada ayahnya, Aprianto mengatakan: "Pak, umat Islam di atas (maksudnya Gebang Rejo) sudah sangat terdzalimi. Maka saya harus membantu mereka. Kalau pun saya mati nanti, maka saya akan mati syahid,' begitu kalimat terakhir Aprianto kepada ayahnya ketika berpamitan.

Akhirnya, Aprianto bersama seorang temannya dengan mengendari sepeda motor menuju Gebang Rejo. Masih beberapa ratus meter dari lokasi kejadian, Aprianto pun jatuh tersungkur berlumuran darah. Ia kena tembak oleh sniper yang sudah disiapkan oleh polisi. Pihak polisi mengatakan, Aprianto ditembak karena membawa senjata dan bom rakitan .

Aprianto, adalah salah satu sosok "anak bebek" yang disebut-sebut Basri alias Bagong, salah seorang pimpinan DPO Poso yang ditangkap pasukan Brimob di Kelurahan Kayamanya, Poso Kota pada Pebruari lalu.

"Anak bebek", tidak hanya sekelompok anak-anak berusia antara 15-20 tahun atau lebih, tapi boleh juga para lelaki yang berusia di atas itu. Yang pasti, mereka yang baru bergabung dengan kelompok ini, disebut sebagai "anak bebek".

Mereka ini memilih bergabung dengan kelompok Basri, karena diajak. Metodenya ajakannya, mereka menceritakan kepada anak-anak yang berusia SMU dan baru tamat sekolah itu, mengenai kerusuhan berdarah tahun 2000 silam, sambil memutarkan kaset-aset rekaman tentang korban-korban muslim yang dibunuh pada kerusuhan bernuansa agama itu. Fokus rekrutmennya, pada anak-anak yang keluarganya terbunuh atau rumahnya dibakar saat terjadinya kerusuhan dahsyat tahun 2000.

Dari situ kemudian, kelompok ini menjelaskan tentang kebiadaban orang-orang Kristen yang membakar Pondok Pesantren Wali Songo Poso, memperkosa dan membunuh santri dan guru-guru mereka, membunuh keluarga mereka, termasuk pembantaian di Dusun Buyung Katedo, di Kecamatan Lage, Poso dan beberapa peristiwa lainnya. Tujuannya, untuk menanamkan kebencian anak-anak terhadap orang-orang Kristen.

Memang, anak-anak ini juga menjadi korban kerusuhan. Mereka terpaksa mengungsi ke luar Poso dan tidak bersekolah dalam waktu yang lama. Tapi, ketika itu mereka masih berstatus sebagai anak sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama. Tentunya mereka tidak tahu sama sekali soal kekisruhan yang sebenarnya terjadi di Poso. Tapi, karena otak mereka dicuci dengan ajaran-ajaran yang keras, maka jadilah mereka yang disebut dengan "anak bebek" itu.

Ternyata, cara rekrutmen seperti itu sangat jitu. Misalnya, dari 10 anak yang diajak, paling tidak, lima sampai delapan orang anak yang tertarik dan mau bergabung dengan kelompok Basri ini. Saat bergabung dan menyatakan kesetiaan, maka mulailah ditanamkan ajaran-ajaran keras bahwa membunuh orang Kristen itu hukumnya wajib dan si pembunuhnya akan masuk surga tanpa dihisab (tanpa dihitung amal perbuatannya di dunia), dan ajaran-ajaran jihad lainnya.

Anak bebek juga berperan sebagai mata-mata. Dengan menggunakan sepeda, belasan anak-anak sering mematai-matai pergerakan Bila polisi. polisi masuk ke wilayah Gebang Rejo anak-anak inilah yang mengabarkan ke kelompok Basri. Anak bebek juga sering menyerang polisi dengan ketapel. Biasanya dari bali rumah polisi diketapel. Anak bebek sebagai penghalau pergerakan polisi dilapangan.

Laporan ini dibuat atas kerjasama AJI Kota Palu dan Yayasan TIFA, Februari – Maret 2007