Monday, April 30, 2007

Profil Tanah Runtuh - Gebang Rejo

ADA TANAH RUNTUH DI GEBANG REJO


TANAH RUNTUH, sebuah enclave kecil di sudut Kota Poso, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, tiba-tiba menjadi terkenal dalam enam bulan terakhir. Pertempuran dahsyat berdurasi delapan jam lebih antara polisi dengan sejumlah tersangka kasus kekerasan di Poso, membuat nama Tanah Runtuh kian kesohor.

Tapi, tak hanya kesohor, Tanah Runtuh juga menghadirkan pertanyaan: bagaimana Tanah Runtuh tumbuh, lalu kemudian menjadi terkenal seperti sekarang ini. Berikut kisahnya.

Sebetulnya, tak terlihat sesuatu yang istimewa dari kawasan tanah runtuh ini. Suasana lengang dan sepi ketika siang hari terlebih malam hari. Dulunya, kawasan ini adalah perumahan penduduk dengan tingkat ekonomi yang cukup lumayan. Hal ini dilihat dari sejumlah rumah penduduk yang masih kokoh, serta beberapa puing-puing bangunan yang menunjukkan kelas elite dalam strata masyarakat.

Sebelumnya, kawasan ini lebih dikenal dengan nama PAM atau Perusahaan Air Minum. Karena tak jauh dari tempat itu terletak kantor PDAM Poso. Kondisi kawasan ini berbukit. Banyak pohon jati di tanam di atasnya. Hampir semua rumah memiliki tanaman pohon buah-buahan seperti mangga dan rambutan.

Kini disebut Tanah Runtuh lantaran beberapa tahun lalu, badan jalan di sisi Sungai Poso di bibir kawasan yang masuk dalam Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota itu, runtuh.

Sejak beberapa tahun lalu, tak jauh dari lokasi tanah yang runtuh, sedikit menaiki bukit, berdiri sebuah pesantren yang bernama ‘Al Amanah’. Pesantren ini didirikan oleh Ustadz Haji Muhammad Adnan Arsal seorang tokoh ulama di Poso. Pesantren ini berisi 16 santri putri, 47 santri anak-anak seusia taman kanak-kanak dan 65 orang santri putra seusia anak-anak sekolah menengah pertama.

Pesantren ini didirikan tanggal 4 Mei 2001 untukmenampung mantan santri Pesantren Walisongo, di Kilo 9 Lage, Poso, yang dibakar dan sekitar 200 santrinya dibunuh para perusuh dalam konflik Poso Mei 2000.

Pesantren Amanah sendiri berdiri di dua lokasi berbeda. Pesantren Amanah di Tanah Runtuh menjadi tempat belajar 16 santri putri dan 47 santri anak-anak seusia taman kanak-kanak. Lalu yang satu lagi di Landangan, Poso Pesisir yang menjadi tempat belajar 65 santri putra.

Tidak ada kegiatan lain yang mencolok dari para santrikecuali belajar agama. Pengajaran agamanya disesuaikan dengan kurikulum nasional. Sedangkan pengajian kitab kuning dilaksanakan di luar jadwal jam pelajaran sekolah.

Iwan Ahmad, warga Tanah Runtuh, menyatakan pesantren ini terkesan tertutup dari orang luar. Hal ini terjadi lantaran beberapa kali peristiwa kekerasan yang terjadi di Poso, pesantren ini selalu menjadi sasaran penggeledahan polisi. “Makanya mereka terkesan tertutup dan hati-hati kepada tamu,” ujar Iwan.

Ustadz Muhammad Adnan Arsal adalah pimpinan Pondok Pesantren Amanah yang terkenal di Poso pasca kerusuhan Poso tahun 2000. Pada beberapa kesempatan Ustadz Adnan mengakui mengenal para tersangka pelaku terorisme di Poso dan Palu itu, secara pribadi.

“Karena saya yang mendidik mereka pengetahuan agama.Tapi saya tidak mengajarkan mereka tentang kekerasan dan sebagainya,” demikian Ustadz Adnan pada beberapa kesempatan.

Itu sebabnya, dalam perburuan terhadap 29 DPO yang menjadi tersangka terorisme di Poso dan Palu, Sulteng, aparat kepolisian dan Densus 88 Polri berusaha mendekati Ustadz Adnan. Bahkan aparat bersedia untuk menunggu laporan para tokoh ulama dalam dialog yang beberapa kali digelar oleh Pemda Poso dan Polda Sulteng sejak Oktober 2006.

Profil Gebang Rejo

Begitulah sekelumit cerita tentang Tanah Runtuh. Tapi, bagaikan sayur tanpa garam, tak lengkap rasanya berkisah tentang Tanah Runtuh, lalu melupakan Gebang Rejo, Kelurahan kecil di Kecamatan Poso Kota, di mana Tanah Runtuh sebagai wilayah administarsinya.

Sebelum tahun 1950, Kelurahan Gebangrejo masih disebut sebagai Kampung Gebangrejo yang menjadi bagian dari Kampung Gorontalo yang sekarang menjadi Kelurahan Bonesompe.

Dulunya, sebelum menjadi pemukiman, Gebangrejo adalah hutan lebat yang ditumbuhi banyak pohon Silar, sejenis pohon Palem. Itulah yang menjadi asal mula kata Gebang yang artinya Silar. Sementara rejo artinya subur. Itu

adalah dua kata berasal dari Bahasa Jawa. Harapannya, agar Gebangrejo menjadi kampung yang maju, makmur dengan lahan pertanian yang subur.

Dari tahun 1950 – 1968, Gebangrejo yang sudah berpisah dari Kampung Gorontalo dipimpin oleh seorang bekas anggota tentara Kerajaan Belanda atau KNIL bernama Soemadikoro.

Lalu setelah itu, dari 1968 – 1974, beralih ke Suhardjo, tetua masyarakat setempat. Saat itu, masuklah penduduk yang mengungsi dari Kabupaten Luwu, Palopo Utara, Sulawesi Selatan dan Jawa.

Tahun 1974-1975, Gebangrejo beralih kepemimpinannya kepada Kepala Kampung Hagu Harun. Di akhir kepemimpinan Hagu, Kampung Gebangrejo berubah menjadi Desa. Saat itu, Desa tersebut dipimpin oleh seorang anggota Tentara Nasional Indonesia bernama Saridjo. Di masa kepemimpinan Saridjo, Desa Gebangrejo berubah menjadi Kelurahan. Ia memimpin hingga 1988.

Sepeninggal Saridjo, tepatnya dari 1988 – 1991, Kelurahan Gebangrejo dipimpin lagi orlah seorang anggota TNI bernama Sujawarso. Sampai kemudian pada 1991, tak cukup setahun, Kelurahan baru ini dipimpin oleh WD Manggede, seorang anggota Polisi Pamong Praja.

Setelah itu, lagi-lagi Gebangrejo dipimpin oleh seorang anggota militer bernama G Parainta dari 1991-1995. Tahun 1995-2001, kepemimpinan Gebangrejo beralih ke tangan sipil. Saat itu, wilayah ini dipimpin oleh Mahyudin Darise. Lalu pada 2000-2001 dipimpin oleh Dasiran. Menyusul kemudian pada 2002-2004 dipimpin oleh Suripto K. Saat ini, Kelurahan ini dipimpin oleh Mariono Ari Pamungkas, SH yang diangkat pada tahun 2004.

Dari data Demografi di Kantor Kelurahan Setempat, jumlah penduduk Gebangrejo sebanyak 10.521 jiwa. Rinciannya, Laki-laki (Islam) sebanyak 5.267 jiwa, Perempuan (Islam) 4.983 jiwa. Lalu Lakli (Kristen) sebanyak 102 jiwa dan Perempuan (Kristen) 114 jiwa. Ditambah lagi Laki-laki (Hindu) 32 jiwa dan Perempuan (Hindu) 23 jiwa. Dari data tersebut diketahui jumlah laki-laki sebanyak 5.401 jiwa dan perempuan 5.120 jiwa.

Dari data demografi yang tercatat di Kantor Kelurahan, diketahui pula sebanyak 1.120 jiwa berprofesi sebagain Pegawai Negeri Sipil. Selebihnya adalah anggota TNI (11 jiwa) dan anggota Polri (116 jiwa). Adapula yang menjadi karyawan swasta sebanyak 230 jiwa dan karyawan BUMN semisal Pertamina sebanyak 155 orang. Selebihnya adalah pedagang (460 jiwa), peternak (26 jiwa) dan Petani (419) serta sejumlah sector jasa lainnya.

Tidak ada yang tahu pasti mengapa Gebangrejo berkali-kali dipimpin oleh militer. Dari sumber terbatas diketahui bahwa saat itu diduga sejumlah pelarian anggota PRRI-Permesta bersembunyi di tempat itu. Belum lagi sejumlah pengungsi yang lari Palopo Utara karena ketika itu wilayah tersebut masih dikuasai pasukan DII TII Kahar Muzakar.

Saat ini Gebangrejo sudah berkembang menjadi permukiman yang ramai. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) atau biasa disebut saja PAM didirikan di sini. Sejak saat itu, selain disebut Gebangrejo, dikenal pula sebagai PAM.

Kini, pasca konflik Poso, ketika kekerasan berskala besar dan teror terus terjadi, nama Gebang Rejo diidentikan dengan Tanah Runtuh. Padahal Tanah runtuh Cuma satu dari sekian banyak kampung kecil di kelurahan Gebang Rejo.

Tanah Runtuh, juga Gebangrejo, membumbung namanya, setelah konflik mengharubiru Poso. Setelah pembunuhan ratusan santri Pesantren Walisongo di Kilometer 9, Poso pada tahun 2000 banyak santri, para tenaga pengajar dan keluarganya lari ke wilayah itu.

Yayasan Badan Wakaf Ulul Albab berperan besar dalam memfasilitasi para pengungsi Walisongo tersebut sampai kemudian mereka mendirikan Pesantren Amanah pada tanggal 4 Mei 2001. Tokoh pentingnya adalah Ustadz Muhammad Adnan Arsal, ulama karismatik di Poso. Tidak bisa memisahkan nama Tanah Runtuh dari Pesantren Amanah.

Namun siapa menyangka kemudian dari sinilah benih-benih apa yang disebut polisi sebagai kelompok bersenjata dan kemudian dimasukkan dalam DaftarPencarian Orang (DPO) Mabes Polri bermula. Dari tanah yang subur bagi Silar, menjadi ladang yang subur bagi para mujahid (begitu warga setempat menamai mereka yang terpaksa mengangkat senjata, karena menurutnya Polisi tidak adil dalam menyelesaikan konflik Poso)

Dengan alasan dendam karena puluhan keluarganya terbantai saat kerusuhan, sosok seperti Basri kemudian menjadi momok bagi Polisi. Ia disebut-sebut Polisi sebagai pimpinan kelompok bersenjata dan seorang yang menguasai banyak persenjataan.

Polisi lalu memata-matai Pesantren Amanah dan Ustadz Adnan. Polisi memberi inisial Ustadz Adnan Arsal dengan AA. Ia dianggap banyak mengetahui siapa-siapa saja dari 29 nama DPO Mabes Polri [kini tinggal sekitar 10 orang setelah operasi Kepolisian pada 22 Januari 2007 lalu] yang diumumkan secara terbuka di Poso pada 26 Oktober 2006.

Polisi menuduh Ustadz Adnan menyembunyikan mereka, namun Ustadz menyatakan bahwa anak-anak itu adalah korban konflik. Tapi, Polisi bersikukuh. Hukum harus ditegakkan. Maka dilakukanlah operasi pada 11 dan 22 Januari 2007.

Total jenderal korban sipil 15 orang dan dua orang Polisi. Sejumlah DPO ditembak dan lainnya ditangkap lalu dibui. Sementara lainnya masih melarikan diri.

Tanah Runtuh makin melambung namanya setelah itu. Tidak ada yang tak mengenalnya. Padahal kelurahan dengan topografi berbukit itu terlihat biasa-biasa saja. Bukitnya penuh ilalang dan hutan jati. Masyarakatnya beragam. Tidak semua pula yang pernah memanggul senjata. ****

Laporan ini dibuat atas kerjasama AJI Kota Palu dan Yayasan Tifa, Februari - Maret 2007